Di zaman modern ini, umumnya sebuah siaran di Radio menyiarkan berita terkini, tangga musik hits masa kini, cerita pendengar dan lain sebagainya. Berbeda jauh dengan siaran Radio pada zaman dahulu. Selain menyiarkan siaran-siaran mainstream (seperti yang udah Ane sebutin tadi), siaran Radio zaman dulu juga menyiarkan situasi dan kondisi dunia yang saling berperang satu sama lain, khususnya ketika zaman Perang Dunia berkecamuk. Tak hanya itu, melalui siaran Radio, pihak yang berseteru dalam peperangan bisa saling melemparkan "propaganda" yang dimaksudkan untuk mempengaruhi para pendengarnya. Propaganda sendiri adalah sebuah pesan yang disampaikan untuk mempengaruhi pendapat dan kelakuan masyarakat atau sekelompok orang.
Spoiler for Siapa itu Iva Toguri D'Aquino?:
Iva Ikuko Toguri, adalah seorang warga Amerika keturunan Jepang yang lahir pada tanggal 4 Juli 1916 di Los Angeles, California. Orang tua Iva adalah imigran Jepang yang datang ke Amerika Serikat pada dekade awal tahun 1900-an. Iva adalah putri pasangan Jun dan Fumi Toguri. Saat masih duduk di bangku sekolah, Iva merupakan seorang anggota Pramuka. Pada awalnya, Ia bersekolah di Meksiko dan San Diego. Kemudian, memasuki masa-masa SMA, Iva kembali ke Los Angeles, tempat kelahirannya. Iva adalah alumni Universitas Los Angeles jurusan Zoologi. Buat yang belum tahu, Zoologi adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari kehidupan binatang dan pembuatan klasifikasi aneka macam bentuk binatang di dunia. Itulah pengertian Zoologi menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Spoiler for Perjuangan Hidup:
Pada 5 Juli 1941, sehari setelah Iva berulang tahun yang ke-25, Iva memutuskan untuk pergi ke Jepang, tempat asal kedua orang tuanya. Normalnya, orang yang hendak pergi keluar negeri pastinya membutuhkan paspor agar diizinkan melakukan perjalanan keluar negeri. Namun pada kasus Iva, Ia pergi ke Jepang hanya bermodalkan Kartu Tanda Penduduk alias KTP saja. Semuanya berjalan baik-baik saja, sampai satu waktu di bulan Agustus, Iva mengunjungi kantor kedutaan Amerika di Jepang guna mengurus pembuatan paspor. Selayaknya bikin KTP, Iva mesti nunggu waktu yang lama agar paspornya selesai dibuat. Nahas, akibat peristiwa penyerangan Pearl Harbour pada 7 Desember 1941, Iva terpaksa tertahan di Jepang dan tidak diizinkan untuk pulang ke Amerika terlebih dulu.
Karena hubungan antara Jepang dan Amerika Serikat dalam kondisi yang tidak baik, hal itu berdampak pada kehidupan Iva. Ia dipaksa untuk mengganti kewarganegaraannya yang semula berkewarganegaraan Amerika, menjadi Jepang. Iva menolak paksaan pemerintah. Alhasil, Ia pun dicap sebagai "musuh negara" dan tidak diizinkan mendapatkan bantuan (berupa makanan, uang, dsb. Ya...sebagaimana yang telah terjadi di masa sekarang. Bedanya, kalo sekarang terjadi akibat pandemi, kalo dulu terjadi akibat Perang Dunia 2) dari pemerintah.
Hidup Iva serba kekurangan semenjak itu. Untuk menafkahi dirinya, Ia mulai bekerja sebagai penulis di sebuah perusahaan media Jepang. Sampai pada akhirnya, Iva bekerja di Stasiun Radio Tokyo sebagai penyiar berita.
Pada November 1943, kala itu para tahanan perang dari pihak Sekutu dipaksa untuk menyebarkan propaganda lewat siaran radio. Tugas penyiaran tersebut diberikan kepada Iva. Iva pun menjadi penyiar di sebuah siaran berdurasi satu jam bernama "Zero Hour". Nggak cuma menyebarkan propaganda, siaran tersebut juga menyiarkan segmen mainstream selayaknya siaran radio pada umumnya, mulai dari informasi terkini (khususnya seputar situasi dan kondisi dunia selama Perang Dunia 2 berlangsung), pemutaran musik sampai segmen kirim-kirim salam.
Siaran "Zero Hour" diproduseri oleh Mayor Charles Cousens, seorang perwira tentara asal Australia yang juga memiliki pengalaman sebagai penyiar radio. Mayor Cousens terkenal setelah mengumumkan peristiwa "Pertempuran Singapura". Peristiwa tersebut merupakan peristiwa dimana Jepang berhasil menjajah Singapura pada awal bulan Februari 1942. Siaran "Zero Hour" tidak hanya diisi oleh Iva sendiri. Ia ditemani oleh seorang Kapten tentara Amerika bernama Wallace Ince dan seorang Letnan tentara Filipina bernama Normando Ilefonso Reyes. Fun fact, Iva pernah beberapa kali "nyolong" makanan para tahanan untuk mengganjal perutnya. Mengapa demikian? Sini Ane kasih tahu…
Gaji Iva sebagai penyiar sebesar 150¥/bulan atau $7/bulan. Pada saat itu, gaji segitu kalau diibaratkan di negara kita, kurang lebih sama dengan digaji Rp 10.000-20.000/bulan.
Iva ini adalah seorang yang sangat cinta tanah air. Buktinya, setiap kali Ia siaran, Ia tidak pernah mau membacakan semua naskah siaran yang berbau propaganda "Anti-Amerika". Untung, rekan-rekannya ngerti. Jadi, setiap kali ada bagian naskah siaran yang menyatakan propaganda Anti-Amerika, cukup rekan penyiarnya saja yang baca, sementara Iva "diam" saja (maksud Ane, diam dan tidak ikut campur).
Dari siaran "Zero Hour" inilah Iva mendapatkan julukan khasnya. Iva dijuluki "Tokyo Rose" alias "Kembang Tokyo". Julukan tersebut diberikan oleh orang-orang yang ada disekitarnya selama masa tayang "Zero Hour", mulai dari rekan sampai para tahanan perang yang juga bertugas sebagai kru siaran. Alasannya sederhana, Iva dikenal sebagai wanita yang baik dan cantik di kalangan para kru. Salah satu contoh kebaikan Iva adalah Ia selalu menghabiskan seluruh gajinya untuk mentraktir para kru, walaupun gajinya pas-pasan. Itu juga itung-itung buat gantiin makanan para kru alias tahanan perang yang dicuri sama Iva sih…
Pada April 1945, seluruh kru siaran nampaknya harus merayakan "Hari Patah Hati Nasional" mereka, sebab Iva menikah dengan salah seorang pria berdarah campuran Jepang-Portugis bernama Felipe D'Aquino. Pernikahan mereka hanya bertahan selama 35 tahun saja, yakni sampai tahun 1980. Iva menceraikan Felipe hanya karena Ia sering menolak jika diajak pulang kampung ke Amerika.
Kayaknya...Felipe dendam sama Amerika, setelah perlakuan mereka terhadap sang Istri...
Spoiler for Difitnah "Pemberontak" oleh Orang Lain:
Bulan Agustus tampaknya menjadi "bulan sial" bagi Iva. Satu waktu, ada 2 orang "Reporter" dari majalah ternama Amerika bernama Harry Brundidge dan Clark Lee. Mereka datang menemui Iva dengan maksud untuk "mewawancarai" dirinya. Mereka berdua menjanjikan "imbalan yang besar" kepada Iva yang nilainya cukup untuk membiayai ongkosnya untuk pulang kampung ke Amerika. Iva pun tergiur dengan tawaran tersebut dan menerimanya. Iva pun diwawancarai dan semuanya berjalan lancar. Tetapi, selesai Iva diwawancara...tiba-tiba…
Ia ditangkap oleh pihak berwenang karena dianggap menjadi pembelot bagi Amerika Serikat. Iva pun diinvestigasi oleh FBI dan pihak tentara AS pimpinan Jenderal Douglas MacArthur.
Jenderal Douglas MacArthur
Setahun kemudian, Iva pun dibebaskan. Ternyata, setelah diusut, rupanya tidak ada bukti bahwa Iva melakukan aksi pemberontakan. Bukti bahwa Iva tidak bersalah semakin diperkuat dengan kumpulan naskah siaran radio milik Iva yang tidak mengindikasikan adanya propaganda.
Foto detik-detik sebelum Iva Toguri D'Aquino ditangkap pada tahun 1945, setelah sesi "wawancara" bersama Harry Brundidge dan Clark Lee
Setelah dibebaskan, Iva memohon kepada pihak berwenang untuk mengizinkannya pulang ke Amerika untuk melahirkan anak pertamanya. Sayangnya, nasib malang kembali menimpa Iva. Pihak berwenang Amerika berhasil termakan gosip yang disebar oleh seorang penyiar radio komunis bernama Walter Winchell. Ia menuduh Iva adalah "suruhan" (alias mata-mata) Pemerintah Jepang yang dikirim untuk memata-matai Amerika. Pihak berwenang Amerika pun "menelan bulat-bulat" gosip tersebut dan kembali menahan Iva. Namun, karena Iva sedang hamil tua, penahanannya ditunda hingga Ia melahirkan anaknya. Singkat cerita, anak pertamanya Iva pun lahir di Jepang (soalnya pas gosip tadi tersebar, Iva masih belum dikasih "lampu hijau" sama pihak berwenang Amerika buat pulang kampung). Sayangnya, anaknya tidak hidup lama, karena Ia meninggal tidak lama setelah dilahirkan.
Tanggal 25 September 1948, Iva resmi ditahan atas kasus "pemberontakan" karena "membantu" pihak Jepang semasa Perang Dunia Kedua terjadi. Iva dibawa ke San Francisco untuk menjalani masa tahanannya.
Quote:
Akhirnya...Toguri-san bisa pulang kampung juga...udah gitu...gratis lagi…
5 Juli 1949, Iva Toguri D'Aquino, berusia 33 tahun, menjalani sidang perdana kasus pemberontakan yang dijatuhkan kepadanya. Dalam persidangan tersebut, Wayne Mortimer Collins bertugas sebagai pengacara Iva. Ia merupakan pejuang pembela hak asasi warga berdarah Jepang-Amerika asal Sacramento, California. Dalam persidangan kasusnya Iva, Wayne Collins memperjuangkan kliennya secara mati-matian. Ia bahkan mengundang Mayor Cousens sebagai saksi di pengadilan. Sayangnya, berdasarkan keputusan juri pengadilan pada tanggal 29 September 1949, Iva harus mendekam di penjara selama 10 tahun dengan denda sebesar $10.000. Wayne Collins langsung mengajukan keberatannya, karena menurutnya, keputusan juri dinilai "tidak memiliki bukti yang jelas". Namun tetap saja, keputusan tersebut sudah final. Iva pun harus menjalani proses hukum yang berlaku
Spoiler for Fakta Terungkap dan Pengampunan Presiden:
Quote:
Hidup Itu Seperti Sebuah Roda, Kadang Di Atas, Kadang Di Bawah
Quote tadi nampaknya cocok untuk menggambarkan kehidupan semua orang di dunia, termasuk Iva. Setelah Ia mengalami masa-masa yang penuh cobaan, akhirnya datanglah masa dimana Ia mendapatkan ganjaran atas kesabarannya.
Pada tanggal 28 Januari 1956, Iva akhirnya dibebaskan dari penjara. Ia memutuskan untuk pindah ke Chicago, Illinois bersama keluarganya. Tak lama setelah bebasnya Iva dari penjara, beberapa fakta mengejutkan pun mulai terungkap. Salah satu "Reporter" yang "mewawancarai" Iva kala itu, Harry Brundidge ditangkap atas kasus suap dan sumpah palsu pada kasus pertama Iva, dimana Ia dan Clark Lee menjebak Iva.
Seorang Asisten Jaksa Agung Amerika Serikat bernama Tom DeWolfe mencoba untuk mengusut kasus tersebut. Dan ternyata Ia berhasil mengorek sebuah fakta yang mengejutkan. Salah satu saksi dari pihak pemerintah Jepang, Hiromu Yagi mengaku bahwa Ia memberikan kesaksian palsu pada persidangan kasusnya Iva.
Oh ya, buat yang kepo kenapa pihak pemerintah Jepang ikut terlibat dalam kasusnya Iva, coba baca lagi bagian dimana pihak berwenang Amerika termakan gosip sama si penyiar baik itu. Iva kan dituduh sebagai "pemberontak" karena "membantu pihak Jepang" pas PD 2 berlangsung, ya otomatis pihak Jepang juga harus memberikan keterangannya di persidangan juga bukan? Nah sayangnya, kesaksian dari pihak Jepang adalah saksi palsu. Dan...juri pengadilan juga...main "iya-iya" aja sama kesaksian palsu itu. Alhasil, Iva pun dijebloskan ke penjara. Begitu…
Terus, gimana Harry Brundidge dan Clark Lee? Nah, disini faktanya terungkap.
Pada tahun 1976, Reporter media "Chicago Tribune" bernama Ron Yates menjadi pahlawan setelah berhasil membongkar rahasia dibalik kasusnya Iva. Dalam salah satu wawancaranya, Ia mewawancarai 2 orang mantan rekan Iva, bernama Kenkichi Oki dan George Mitsushio. Pada awalnya, mereka berdua (Oki dan George) didatangi oleh OKNUM dari pihak FBI dan tentara Amerika Serikat. Para OKNUM tersebut terus menerus mengorek informasi dari Oki dan George dengan maksud untuk menjatuhkan sekaligus membongkar identitas si "Kembang Tokyo". Nah, setelah mereka (para OKNUM) mendapatkan informasi yang cukup, melalui Harry Brundidge dan Clark Lee, mereka menjebak Iva dengan cara mengundang Iva dalam sebuah "wawancara". Oki dan George sebetulnya enggan untuk membocorkan informasi tersebut, namun karena para OKNUM itu merasa "paling tinggi" jabatannya, mereka mengancam akan menjebloskan Oki dan George ke penjara. Fakta tersebut juga dikonfirmasi oleh pembawa acara berita di TV Amerika, "60 Minutes", bernama Morley Safer.
Morley Safer
Satu lagi, fakta yang diungkapkan oleh Oki dan George juga menyatakan kalau semua pertanyaan yang diajukan kepada Iva saat diwawancarai oleh Brundidge dan Lee, rupanya adalah cara terselubung untuk mengkonfirmasi informasi yang didapatkan oleh para OKNUM dari George dan Oki.
Lalu...bagaimana dengan Walter Winchell? Ane rasa...alasan persaingan di dunia penyiaran yang menjadi penyebab mengapa Ia dengan tega menyebarkan gosip kepada Iva.
Setelah fakta-fakta terungkap, Presiden Amerika Serikat ke-38, Gerald Ford memberikan pengampunan kepada Iva Toguri D'Aquino atas tuduhan yang dilayangkan kepadanya. Pemberian pengampunan Presiden tersebut dilakukan pada tanggal 19 Januari 1977 dan disetujui oleh Badan Legislatif Negara Bagian California, Liga Rakyat Jepang-Amerika dan Senator Amerika Serikat.
Gerald Ford
Presiden Amerika Serikat ke-38
29 tahun kemudian, tepatnya pada 15 Januari 2006, Komite Veteran Perang Dunia Kedua memberikan penghargaan "Edward J. Herlihy" kepada Iva Toguri D'Aquino. Iva dinilai sebagai sosok yang gigih, cinta tanah air dan figur pemberani bagi masyarakat Amerika Serikat. Pada 26 September 2006, Iva Toguri D'Aquino menghembuskan nafas terakhirnya akibat penyakit yang dideritanya. Ia wafat di usianya yang ke-90.