JayengSekar , Kesatuan Polisi Pribumi Berkuda bentukan Daendels
Pasukan kavaleri Jayengsekar justru jarang disebut dan minim info padahal perannya sbg pasukan keamanan cukup vital.
Kebetulan ada media yg cukup lengkap membahasnya.
Polisi Khusus Bentukan Daendels
Pasukan penjaga setiap jengkal tanah di wilayah Jawa. Membangkang ketika reputasinya menanjak.
DI zaman kolonial, Tegal yang terletak di pantai utara Jawa Tengah, merupakan daerah pemasok beras ke bagian timur Nusantara. Karena punya nilai strategis, pemerintah kolonial secara khusus memproteksi kawasan ini.
Pramoedya Ananta Toer dalam Jalan Raya Pos, Jalan Daendels menyebut keamanan di kota Tegal dilakukan oleh sejenis kesatuan polisi pribumi berkuda. Mereka berseragam dan berpeci biru dengan senjata kelewang dan pistol. Kesatuan tersebut dinamai: Jayeng-sekar.
“Pasukan ini berada di bawah perintah masing-masing kepala distrik (kabupaten) tetapi di ibukota karesidenan (prefektur setara provinsi, red.) di bawah pejabat kulit putih,” tulis Pram.
Prajurit Pilihan
Dalam Kamus Sansekerta Indonesia, Jayengsekar berarti nama kesatuan prajurit kraton. Pakar sejarah militer Indonesia, Nugroho Notosutanto menyebut Jeyengsekar sebagai salah satu diantara penerus tradisi keprajuritan Indonesia dalam bentuk yang sudah dicampuri unsur-unsur Barat. Pasukan khusus ini berupa detasemen kavaleri yang dibentuk oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels. Prajurit Jayengsekar direkrut dari kalangan anak-anak elite pribumi yang tak tertampung dalam birokrasi kolonial. Mereka juga tak dapat bekerja sebagai petani karena terbentur kelas sosial.
Pada 1 September 1808, Daendels melakukan reorganisasi pemerintahan di Pantai Timur Laut Jawa dan ujung timur Jawa. Daendels tetap mempertahankan bupati sebagai penguasa tertinggi orang pribumi dan harus mengikuti perintah prefek, penguasa orang Eropa. Maka pada setiap prefektur dibentuk pasukan pengawal pribumi yang disebut Jayengsekar yang berjumlah antara 50–100 orang, tergantung dari luasnya wilayah.
Menurut Nugroho dalam Tentara Peta pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia dengan memobilisasi prajurit Jayengsekar, pemerintah Belanda mencapai dua tujuan. Pertama, mencegah terjadinya pengangguran yang mungkin akan menjadi elemen berbahaya dalam masyarakat kolonial. Kedua, mereka bisa dikerahkan untuk mengisi kekurangan tenaga militer; melakukan tugas kepolisian sewaktu-waktu terjadi gejolak.
Berasal dari anak negeri pilihan, Prajurit Jayengsekar dikenal cerdas dan tangkas. Mereka mendapat pelatihan militer, senjata (bayonet, sangkur, dan pistol), dan kuda berkualitas. Penggunaan seragam dan tanda-tanda kemiliteran secara khusus kian menan dai ciri Jayengsekar sebagai polisi profesional.
Tersebar di sembilan prefektur, Jayengsekar bertugas menjaga keamanan dan melindungi warga di wilayahnya. Mereka dipimpin oleh perwiranya sendiri –berpangkat setara bupati– yang berjumlah tiga orang untuk setiap daerah komando. Sementara para bintara dan prajurit Jayengsekar diberikan pangkat setara para mantri besar dan mantri kecil agar berbeda dengan orang kebanyakan.
“Pasukan Jayengsekar akan memperoleh sejumlah petak sawah di setiap distriknya,” tulis Djoko Marihandono dalam disertasinya di Universitas Indonesia berjudul “Sentralisme Kekuasaan Pemerintahan Herman Willem Daendels di Jawa 1808–1811. “Sawah-sawah yang digunakan sebagai ganti gaji para prajurit Jayengsekar diambil dari seluruh kabupaten yang berada di bawah prefektur sesuai dengan luas tanah dan jumlah penduduknya,”
Berdasarkan pasal 25 Ordonantie den 18 Augustus 1808, Djoko Marihandono mencatat sejumlah pasukan Jayengsekar di berbagai prefektur. Untuk wilayah Tegal dibentuk 80 pasukan Jayengsekar dengan kekuatan 80 prajurit; Pekalongan 50 prajurit; Semarang 100 prajurit; Jepara 100 prajurit; Rembang 50 prajurit; Gresik 50 prajurit; Surabaya 80 prajurit; Pasuruan 100 prajurit; Sumenep 100 prajurit. Selama tiga tahun memerintah Jawa, Daendels melaporkan kepada kaisar Prancis Napoleon Bonaparte bahwa dirinya telah merekrut sebanyak 13.838 pasukan Jayengsekar.
Dibubarkan
Jayangsekar tercatat dalam berbagai palagan penting. Ketika Inggris menyerbu Jawa pada 1811, Jayengsekar ikut memperkuat pertahanan Belanda yang saat itu dipimpin Gubernur Jenderal Janssens. Dalam Pertempuran Jatingaleh di Semarang, sebanyak 50 prajurit Jayengsekar menjadi garda terakhir.
“Mereka gagah berani, namun jumlahnya tidak mencukupi,” tulis sejarawan Prancis Jean Rocher dalam Perang Napoleon di Jawa 1811: Kekalahan Memalukan Gubernur Jenderal Janssens.
Sejarawan Universitas Indonesia Saleh As'ad Djamhari juga mengungkap keterlibatan Jayangsekar dalam Perang Diponegoro. Dalam disertasinya “Stelsel Benteng dalam Pemberontakan Diponegoro 1827–1830, Saleh mencatat sebanyak satu detasemen Jayengsekar dari Tegal didatangkan untuk menghadang pasukan Diponegoro yang hendak menyerang benteng Belanda di Bagelen. Pada operasi militer lain, barisan Jayengsekar dari Kendal masuk ke dalam Kolone Mobil 11 pimpinan Mayor Michiels. Ekspedisi yang diperintahkan Jenderal de Kock tersebut bertujuan untuk merebut dan menguasai kembali wilayah Mataram, Bagelen, dan Ledok selama tahun 1828.
Begitu pula, Jayengsekar berperan dalam memadamkan kerusuhan di Cirebon pada 1830. Dalam perkembangannya, Jayengsekar menjadi kekuatan polisional yang begitu diandalkan pemerintah kolonial. Tetapi lambat laun, kemunduran terjadi pada mereka. Akibatnya disipilin pasukan memudar. Gejala pembangkangan yang mulai terlihat membuat pemerintah bersiap membubarkan Jayengsekar.
“Pasukan Jayengsekar yang merasa dirinya berjasa, akhirnya sukar dikendalikan karena merasa kedudukannya terlalu tinggi untuk menjalankan tugas-tugas polisi, sehingga mereka sebagai aparatur kepolisian sudah tidak memenuhi syarat-syarat lagi,” tulis Suparno dalam Perkembangan Kepolisian dari Zaman Klasik–Modern.
Dalam roman sejarah berjudul Semua untuk Hindia, Iksaka Banu menggurat sisi lain di balik pembangkangan pasukan Jayengsekar. Tak ada lagi kesetiaan dan rasa terimakasih dari mereka terhadap pemerintah kolonial. Mengapa? “Mereka melihat tuan-tuan mereka bukan orang terhormat yang bisa menjadi teladan. Tuan-tuan mereka memelihara gundik, melakukan kimpoi campur, serta segala bentuk kebejatan moral lain.”
Pada 1874, sebagaimana dikutip Nugroho Notosutanto dalam Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, unit terakhir Jayengsekar dileburkan ke resimen kavaleri kolonial. Sementara Jean Rocher menyebut, kesatuan Jayengsekar yang tersisa menjadi cikal bakal pasukan elite Marsose dalam Perang Aceh.
Sumur :
https://historia.id/modern/articles/polisi-khusus-bentukan-daendels-vqjry
Pasukan kavaleri Jayengsekar justru jarang disebut dan minim info padahal perannya sbg pasukan keamanan cukup vital.
Kebetulan ada media yg cukup lengkap membahasnya.
Quote:
Polisi Khusus Bentukan Daendels
Pasukan penjaga setiap jengkal tanah di wilayah Jawa. Membangkang ketika reputasinya menanjak.
DI zaman kolonial, Tegal yang terletak di pantai utara Jawa Tengah, merupakan daerah pemasok beras ke bagian timur Nusantara. Karena punya nilai strategis, pemerintah kolonial secara khusus memproteksi kawasan ini.
Pramoedya Ananta Toer dalam Jalan Raya Pos, Jalan Daendels menyebut keamanan di kota Tegal dilakukan oleh sejenis kesatuan polisi pribumi berkuda. Mereka berseragam dan berpeci biru dengan senjata kelewang dan pistol. Kesatuan tersebut dinamai: Jayeng-sekar.
“Pasukan ini berada di bawah perintah masing-masing kepala distrik (kabupaten) tetapi di ibukota karesidenan (prefektur setara provinsi, red.) di bawah pejabat kulit putih,” tulis Pram.
Prajurit Pilihan
Dalam Kamus Sansekerta Indonesia, Jayengsekar berarti nama kesatuan prajurit kraton. Pakar sejarah militer Indonesia, Nugroho Notosutanto menyebut Jeyengsekar sebagai salah satu diantara penerus tradisi keprajuritan Indonesia dalam bentuk yang sudah dicampuri unsur-unsur Barat. Pasukan khusus ini berupa detasemen kavaleri yang dibentuk oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels. Prajurit Jayengsekar direkrut dari kalangan anak-anak elite pribumi yang tak tertampung dalam birokrasi kolonial. Mereka juga tak dapat bekerja sebagai petani karena terbentur kelas sosial.
Pada 1 September 1808, Daendels melakukan reorganisasi pemerintahan di Pantai Timur Laut Jawa dan ujung timur Jawa. Daendels tetap mempertahankan bupati sebagai penguasa tertinggi orang pribumi dan harus mengikuti perintah prefek, penguasa orang Eropa. Maka pada setiap prefektur dibentuk pasukan pengawal pribumi yang disebut Jayengsekar yang berjumlah antara 50–100 orang, tergantung dari luasnya wilayah.
Menurut Nugroho dalam Tentara Peta pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia dengan memobilisasi prajurit Jayengsekar, pemerintah Belanda mencapai dua tujuan. Pertama, mencegah terjadinya pengangguran yang mungkin akan menjadi elemen berbahaya dalam masyarakat kolonial. Kedua, mereka bisa dikerahkan untuk mengisi kekurangan tenaga militer; melakukan tugas kepolisian sewaktu-waktu terjadi gejolak.
Berasal dari anak negeri pilihan, Prajurit Jayengsekar dikenal cerdas dan tangkas. Mereka mendapat pelatihan militer, senjata (bayonet, sangkur, dan pistol), dan kuda berkualitas. Penggunaan seragam dan tanda-tanda kemiliteran secara khusus kian menan dai ciri Jayengsekar sebagai polisi profesional.
Tersebar di sembilan prefektur, Jayengsekar bertugas menjaga keamanan dan melindungi warga di wilayahnya. Mereka dipimpin oleh perwiranya sendiri –berpangkat setara bupati– yang berjumlah tiga orang untuk setiap daerah komando. Sementara para bintara dan prajurit Jayengsekar diberikan pangkat setara para mantri besar dan mantri kecil agar berbeda dengan orang kebanyakan.
“Pasukan Jayengsekar akan memperoleh sejumlah petak sawah di setiap distriknya,” tulis Djoko Marihandono dalam disertasinya di Universitas Indonesia berjudul “Sentralisme Kekuasaan Pemerintahan Herman Willem Daendels di Jawa 1808–1811. “Sawah-sawah yang digunakan sebagai ganti gaji para prajurit Jayengsekar diambil dari seluruh kabupaten yang berada di bawah prefektur sesuai dengan luas tanah dan jumlah penduduknya,”
Berdasarkan pasal 25 Ordonantie den 18 Augustus 1808, Djoko Marihandono mencatat sejumlah pasukan Jayengsekar di berbagai prefektur. Untuk wilayah Tegal dibentuk 80 pasukan Jayengsekar dengan kekuatan 80 prajurit; Pekalongan 50 prajurit; Semarang 100 prajurit; Jepara 100 prajurit; Rembang 50 prajurit; Gresik 50 prajurit; Surabaya 80 prajurit; Pasuruan 100 prajurit; Sumenep 100 prajurit. Selama tiga tahun memerintah Jawa, Daendels melaporkan kepada kaisar Prancis Napoleon Bonaparte bahwa dirinya telah merekrut sebanyak 13.838 pasukan Jayengsekar.
Dibubarkan
Jayangsekar tercatat dalam berbagai palagan penting. Ketika Inggris menyerbu Jawa pada 1811, Jayengsekar ikut memperkuat pertahanan Belanda yang saat itu dipimpin Gubernur Jenderal Janssens. Dalam Pertempuran Jatingaleh di Semarang, sebanyak 50 prajurit Jayengsekar menjadi garda terakhir.
“Mereka gagah berani, namun jumlahnya tidak mencukupi,” tulis sejarawan Prancis Jean Rocher dalam Perang Napoleon di Jawa 1811: Kekalahan Memalukan Gubernur Jenderal Janssens.
Sejarawan Universitas Indonesia Saleh As'ad Djamhari juga mengungkap keterlibatan Jayangsekar dalam Perang Diponegoro. Dalam disertasinya “Stelsel Benteng dalam Pemberontakan Diponegoro 1827–1830, Saleh mencatat sebanyak satu detasemen Jayengsekar dari Tegal didatangkan untuk menghadang pasukan Diponegoro yang hendak menyerang benteng Belanda di Bagelen. Pada operasi militer lain, barisan Jayengsekar dari Kendal masuk ke dalam Kolone Mobil 11 pimpinan Mayor Michiels. Ekspedisi yang diperintahkan Jenderal de Kock tersebut bertujuan untuk merebut dan menguasai kembali wilayah Mataram, Bagelen, dan Ledok selama tahun 1828.
Begitu pula, Jayengsekar berperan dalam memadamkan kerusuhan di Cirebon pada 1830. Dalam perkembangannya, Jayengsekar menjadi kekuatan polisional yang begitu diandalkan pemerintah kolonial. Tetapi lambat laun, kemunduran terjadi pada mereka. Akibatnya disipilin pasukan memudar. Gejala pembangkangan yang mulai terlihat membuat pemerintah bersiap membubarkan Jayengsekar.
“Pasukan Jayengsekar yang merasa dirinya berjasa, akhirnya sukar dikendalikan karena merasa kedudukannya terlalu tinggi untuk menjalankan tugas-tugas polisi, sehingga mereka sebagai aparatur kepolisian sudah tidak memenuhi syarat-syarat lagi,” tulis Suparno dalam Perkembangan Kepolisian dari Zaman Klasik–Modern.
Dalam roman sejarah berjudul Semua untuk Hindia, Iksaka Banu menggurat sisi lain di balik pembangkangan pasukan Jayengsekar. Tak ada lagi kesetiaan dan rasa terimakasih dari mereka terhadap pemerintah kolonial. Mengapa? “Mereka melihat tuan-tuan mereka bukan orang terhormat yang bisa menjadi teladan. Tuan-tuan mereka memelihara gundik, melakukan kimpoi campur, serta segala bentuk kebejatan moral lain.”
Pada 1874, sebagaimana dikutip Nugroho Notosutanto dalam Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, unit terakhir Jayengsekar dileburkan ke resimen kavaleri kolonial. Sementara Jean Rocher menyebut, kesatuan Jayengsekar yang tersisa menjadi cikal bakal pasukan elite Marsose dalam Perang Aceh.
Sumur :
https://historia.id/modern/articles/polisi-khusus-bentukan-daendels-vqjry