oleh Mh Alfie Syahrine
Salah satu penyebab menjadi letoynya musisi rock era 70-an dibilik rekaman dahulu adalah mereka tidak bisa menutup mata dari kenyataan bahwa kebutuhan hidup sehari hari bagi mereka yang sudah berumah tangga menjadi pemicu melencengnya mereka dari prinsif bermusik mereka yang nan garang dipanggung tapi letoy direkaman karena bagi rocker yang sudah berumah tangga mengebulnya dapur menjadi suatu keharusan yang tak dapat ditawar tawar. Siapa yang tidak kenal Deddy Dores keyboardist dan guitarist yang dijaman jayanya dulu sering diasosiasikan sebagai Ken Henslay dan Ritchie Blackmore van Java yang penampilannya garang dipanggung dan sempat memperkuat beberapa group cadas 70-an seperti Rhapsodia,Freedom, Godbless, Giant Step, dan Superkid serta beberapa group lainnya namun begitu masuk dapur rekaman di Jakarta, Deddy langsung terjun bebas menjadi musisi/penyanyi mellow bin letoy.
Namun Deddy dengan sigap memberikan alasannya mengapa ia mengambil langkah terjun bebas menjadi penyanyi mellow bin letoy itu. Deddy mengatakan bila ia hanya mengandalkan penghasilan dari musik rock saja hal itu sulit sekali, karena dunia pop ini sangat berbanding terbalik apabila dibandingkan kebiasaannya manggung dengan menyandang atribut rock. Waktu itu dengan sadar dia masuki dunia penciptaan lagu-lagu mellow dan banyak pula kritik datang kepadanya yang mengatakan dia melacurkan diri. Tapi bagaimana pun juga, dia perlu hidup dan orang tidak bisa tahu apa saja kebutuhannya.
Pada tahun 1972, adalah debut pertama Deddy bersama Freedom of Rhapsodia masuk kebilik rekaman pada saat kondisi keuangannya krisis karena group musik Freedom of Rhapsodia yang dibangunnya belum menghasilkan income yang dapat mencukupi untuk menopang hidupnya. Dalam album pertama FOR yang mana Deddy diberi kepercayaan untuk menyanyikan lagu yang berjudul Hilangnya Seorang Gadis karya J Sarwono (yang sekarang berprofesi sebagai seorang Notaris dibilangan Blok M), meledak.dan itu menginspirasikannya untuk terus bermellow ria dengan groupnya hingga pada tahun 1973 Deddy ditarik Iyek untuk menggantikan posisi Yongkie yang cabut dari Godbless dan hijrah ke Bandung membuat group progrock Giant Step bersama Benny Soebardja, Deddy Sutansyah dan Sammy Zakaria.
Kemudian di Godbless-pun Deddy membuat album pop pula dengan mengajak semua pemain Godbless minus Albar ke bilik rekaman lagi dengan mengusung bendera The Road dan pada tahun 1978, kali ini berduet dengan penyanyi yang bernama Lilian. Deddy Dores berpendapat bahwa bagaimanapun juga dia perlu makan, uang dan hidup, dan tidak bertahan dengan prinsip harus selalu dengan aliran hard rock, dan Deddy berkata bahwa dia tidak mau seperti group AKA, group musik yang salah jalan. Sesungguhnya sebagai group musik yang suka membawakan musik keras mereka sudah banyak penggemarnya. Tetapi sangat disayangkan sekali, mereka rekaman lagu-lagu berirama qasidah sehingga membuat penggemar AKA jadi menurun dan kecewa. Deddy berpendapat bahwa musik rock tidak sekomersial musik pop dan menurutnya lebih baik cari tempat penampung untuk rekaman dalam menyelamatkan diri.Semasa Deddy di Giant Step diapun membuat band khusus untuk mengiringi solo kariernya baik yang pop mellow ataupun dang dhut yang bernama The Fantastic yang beranggotakan Albert Sumalang, J Sarwono,Yanto Sudjono, Haryadi dan Deddy sendiri sejak Superkid bubar dia terus menjadi penyanyi dan pengarang lagu lagu pop mellow hingga kini.
Kita sejak dahulu telah mengenal Godbless sebagai pioneer musik keras dipanggung selain AKA dari Surabaya.Sebagai salah satu group musik yang paling fanatik menganut musik keras di atas panggung, akan tetapi dalam album pertama mereka (1976) ada pula lagu mellow seperti “Huma Diatas Bukit”.Mengenai dimasukkan lagu-lagu berirama “Mellow Bin Letoy”, Ahmad Albar menyatakan disebabkan oleh keinginannya untuk memikat hati para pendengar dan untuk mengingatkan orang pada penampilannya di atas panggung.
Dikeluarkannya album perdana (1976) ini oleh God bless, karena sudah banyak orang yang menyukai musik jenis ini dan agar hubungan Godbless dengan masyarakat, khususnya pengemarnya menjadi lebih dekat. Lagu Huma diatas Bukit banyak tambal sulam dari lagu Firth Of Fifth milik Genesis dari album Selling England By The Pound Namun hal ini masih dapat dimaklumi karena menurut beberapa pengamat dan musisi, Godbless pada album pertamanya itu masih mencari format dalam bermusiknya.
Godbless pada saat itu memang merasa kurang percaya pada kekuatan lagu milik sendiri, apalagi masyarakat hanya menuntut God bless yang serba gegap gempita. Akan tetapi sejak tahun 1976, terasa mulai ada gejala bahwa masyarakat bosan dijejali lagu yang itu-itu saja, mereka menuntut pembaruan dari group musik yang dibanggakan. Mereka menuntut agar pemain God bless bisa sekreatif group-group musik yang lagunya pernah dibawakannya di atas panggung. Mengenai lagu-lagu yang diciptakan oleh God bless, Fuad Hasan salah seorang personil dalam grup musik ini mengatakan bahwa God bless anti-lagu-lagu “kacang goreng” dan tidak mau menjadi band pengiring untuk penyanyi-penyanyi Indonesia.
Fuad mengatakan tidak peduli group musik ini diterima oleh masyarakat atau tidak, tetapi Godbless mencoba membawa masyarakat ke musik yang benar-benar bermutu, karena selama ini musisi Indonesia harus mengikuti selera masyarakat dalam mengonsumsi lagu-lagu “kacang goreng” yang murahan dan tidak punya bobot. Selain itu, seperti yang dikatakan oleh Donny Fatah bahwa selama masih bisa makan, bisa jalan dan bisa hidup, Godbless tidak akan ikut-ikutan untuk ikut bermelayu ria.
Lain Godbless lain pula AKA mereka mengatakan bahwa AKA membedakan antara penyajian musik dalam rekaman dan dalam pertunjukan karena menurutnya kedua hal itu harus disesuaikan dengan keadaan. AKA mempunyai prinsip bahwa pertunjukan di panggung harus berbeda dari rekaman. Tidak seperti dalam pertunjukannya yang sering menampilkan lagu-lagu yang bertema seks, kebrutalan dan hal hal yang berbau sensasional namun dalam rekaman AKA belum berani menciptakan lagu seperti itu walaupun itu bukan lagu Indonesia, karena dalam mencipta lagu AKA juga harus menjaga nama baik dan lagi pula masyarakat Indonesia belum bisa menerima lagu-lagu semacam itu.
Kegarangan AKA tidak selalu terdengar dalam lagu-lagu ciptaannya. Di atas panggung mereka sangat dahsyat bahkan ada seorang fan-nya mengatakan bahwa hingga kiamat tidak akan ada lagi band yang sedahsyat AKA karena memang harus diakui bahwa AKA dalam memainkan lagu-lagunya sangat dahsyat sesuai dengan trend musik hard rock pada waktu itu, tetapi dalam album rekaman mereka, selain beberapa lagu mengunakan bahasa Inggris, AKA menampilkan lagu-lagu pop Indonesia yang mellow bin letoy pula, misalnya lagu Akhir Kisah Sedih, atau Badai Bulan Desember.AKA di kritik habis habisan oleh seseorang dalam majalah Aktuil, yang menyatakan bahwa lagu-lagu yang diciptakan oleh group musik tersebut bertolak belakang dengan aksi panggung AKA yang penuh aksi sensasi.
Dalam berbagai pertunjukan musiknya, group AKA selain membawakan lagu-lagu super gahar baik lagu dari Barat maupun karangang mereka sendiri namun mereka juga membawakan lagu-lagu pop Indonesia atau pun pop Melayu. Seperti yang dikatakan oleh Ucok, bahwa musik adalah seni dan musik melayu juga ada seninya dan mereka berusaha memenuhi selera masyarakat lewat dua objek, yakni panggung dan piringan hitam.
AKA mengeluarkan album pertama mereka, Do What You Like (1971), yang berisi tiga lagu bernuansa rock keras berbahasa Inggris (Do What You Like, We've Gotta Work It Out, dan Glennmore) dan juga lagu-lagu pop Indonesia seperti Akhir Kisah Sedih dan Di Akhir Bulan Lima yang liriknya sangat bertolak belakang dengan semangat musik cadas nan gahar yang dibawakannya ketika mereka di panggung.
Dalam setiap albumnya, AKA selalu menyelipkan lagu-lagu Mellow bin letoy selain lagu rock. Setelah Do What You Like, album-album AKA berikutnya adalah Reflections (1971), Crazy Joe (1972), Sky Rider (1973), Cruel Side Of Suez War (1974), Mr. Bulldog (1975), Pucuk Kumati (1977).
Aneh bin aneh memang bahwa group band gahar sekaliber AKA pada tahun 1973 mencetak Album Qasidah Modern dengan warna musik rock, di antaranya lewat lagu yang berjudul Bersyukurlah, Insya Allah dan Amal Ibadah. Perubahan corak musik yang terjadi datang dari masing-masing anggota personilnya yang menyadari bahwa musik rock yang sering mereka bawakan di atas panggung ternyata tidak disambut positif ketika jenis musik ini direkam pada sebuah kaset dan diperjualbelikan. Oleh karena itu mereka menciptakan musik yang dapat lebih diterima oleh masyarakatdisamping ada suatu kenyataan bagi mereka yang tak dapat dihindari yakni begitu besarnya kekuasaan sang produser yang mencukongi rekaman mereka yang mana mau tidak mau merekapun harus menuruti kehendak selera sang produser itu.
Keadaan itu tidak jauh berbeda dengan Band The Halper’s. Group anak anak daerah Halim Perdanakusumah ini apabila di atas panggung lebih condong untuk membawakan nomor-nomor lagu yang keras milik group musik Uriah Heep, tetapi dalam rekaman The Halper’s lebih mempunyai selera untuk membawakan lagu-lagu yang komersial yang mudah dicerna dan diterima oleh masyarakat. Begitu juga dengan group Fair Stones dari Solo selalu berusaha memenuhi keinginan publik. Untuk pertunjukan-pertunjukan yang bersifat biasa, seperti pesta perkawinan, pertunjukan amal Fair Stones memakai label nama band The Rellies. Hal itu bertujuan untuk memberi perbedaan pada jenis musik yang tersaji, yaitu berirama keras apabila pertunjukan diadakan di atas panggung dan berirama lunak apabila pertunjukan diadakan di bawah panggung.
Adanya kesadaran bahwa irama rock yang ditonjolkan oleh musisi rock di blantika musik populer Indonesia kurang mendapat tempat, satu per satu mereka mencoba berjalan sendiri-sendiri. Misalnya Ahmad Albar dari grup Godbless mencoba berekperimen dengan membuat album rekaman pertamanya dengan berbagai variasi lagu-lagu bernuansa rock. Namun hasilnya kurang dapat diterima oleh selera masyarakat. Kemudian Ucok Harahap mencoba membuat rekaman pertamanya di Irama Tara lewat label Hard Rock. Namun lagu-lagu yang terdapat dalam volume tersebut lebih dapat dikatakan sebagai lagu-lagu sweet daripada rock.
Tidak sedikit para musisi rock mengantisipasi keadaan dengan melakukan solo karir. Maksud dari solo karir adalah bila seseorang anggota dari sebuah grup musik yang telah punya nama, kemudian keluar, baik itu sementara maupun seterusnya, dan mencoba bermain musik (biasanya cenderung untuk rekaman saja) atas namanya sendiri. Ia mungkin akan menyelesaikan seluruh proses rekaman tersebut sendirian, dari memainkan seluruh instrumen musik hingga pada rekaman vokalnya. Gejala itu mungkin terjadi akibat ketidakpuasan dalam berkreasi, tetapi tidak jarang pula karena faktor keterpaksaan, misalnya karena tuntutan komersial.
Donny Fatah bassist Godbless melakukan solo karir dengan merekam album bernuansa country. Ia tidak menolak bahwa ia juga menganut banyak aliran musik di Indonesia, termasuk country. Ahmad Albar tidak melihat bersolo karir dari sudut pandang komersial semata, tetapi sebagai suatu kebutuhan setiap individu yang kreatif. Ahmad Albar melakukan solo karir dengan merekam lagu-lagu yang tidak gahar warna musik yang biasa dianut oleh God bless, melainkan corak yang lebih lunak yang dikenal sebagai slow rock.
Corak musik ini sebenarnya sudah dapat ditemui dari beberapa lagu dalam rekaman God bless yang pertama. Ia menerbitkan empat album solo, dua bersama Areng Widodo dan dua bersama Fariz RM yang kebanyakan lagunya tidak berirama rock. Memang agak berat menjadi musisi beraliran keras seperti Godbless yang penghasilannya bergantung kepada dunia pertunjukan. Lain halnya dengan musisi yang bergumul di studio rekaman, untuk hidup berkecukupan seperti kebanyakan orang Ahmad Albar sudah bisa, tetapi untuk hidup berlebihan memang mustahil. Bahkan penghasilan dari bermain musik bila dikumpulkan akan bisa menyamai penghasilannya dari bermain film.
Selain beberapa musisi yang melakukan solo karir di atas tercatat juga nama Benny Soebardja dari Giant Step. Alasan ia melakukan solo karir karena harus memikirkan kebutuhan hidup keluarganya. Giant Step menerapkan politik bebas keluar masuk dalam keanggotaan di Giant Step. Insiatif ini diambil dari pengalaman bahwa mengikat seseorang untuk tetap menjadi anggota dari sebuah grup musik adalah omong kosong, sementara pertunjukan-pertunjukan musik yang menjadi satu-satunya tumpuan hidup mereka untuk memperoleh penghasilan, paling hanya bisa dilakukan satu kali dalam sebulan. Benny Soebardja melahirkan album solo karir dengan judul album Benny Soebardja and Lizard ,Gimme me a Piece of Gut Rock dan Night Train dan setelah itu Benny gabung pula dalam membuat album LCLR 2 Prambors Disana dia menyanyikan dua buah lagu yaitu “Sesaat” karya Harry Sabar dan “Apatis” karya Ingrid Widjanarko yang mana lagu lagu itu yang melambungkan namanya diseantero Tanah Air yang mana setelah melihat keberhasilan debutnya di lagu pop progressive Benny-pun membuat dua album solo di Duba Record dan dan Paragon yang sayang tidak meledak seperti yang diharapkannya.
Beberapa grup lagi mencoba tumbuh bahkan saling bertemu, tetapi tidak satu pun yang tampaknya ingin mencoba bertahan secara utuh. Bagaimana bisa hidup, apabila musik itu sendiri tidak mendatangkan uang. Seperti yang dikatakan oleh Mus Mualim bahwa perkembangan musik rock di Indonesia didukung oleh publik yang masih terbatas. Hal senada juga diungkapkan oleh Donny Fatah dari grup musik God bless yang mengatakan bahwa musik rock hanya menguasai ¼ pasar dari musik populer di Indonesia.
Setelah ditinggalkan oleh Deddy Dores,group Freedom dari Bandung ini membuat satu album rekaman yang berirama pop mandarin dan dua album lagu-lagu dangdut. Group ini pada tahun 1975 mengerjakan album rekaman dengan satu album yang berisikan lagu-lagu ”cap-cai” atau mandarin dan satu lagi yang berisikan lagu-lagu dangdut. Alasan group musik ini mengerjakan album dengan irama tersebut adalah untuk mengikuti selera zaman atau masyarakat. Group ini ketika masih bernama Rhapsodia berhasil melahirkan hits di tahun 1972 lewat lagunya yang berjudul Hancurnya Sebuah Harapan,Kasih Sayang dan Keroncong Perpisahan. The Rhythm Kings dari Medan merekam tujuh album keroncong dan pop Melayu. Hal ini menimbulkan protes-protes dari penggemarnya di Medan sana padahal sewaktu band ini sedang jaya-jayanya , mereka dipanggung selalu membawkan lagu Deep Purple, Chicago,Tower of Power,Yes dll.
Pada pertengahan dekade 1970-an, lagu rock berlirik bahasa Indonesia baru ditemukan lewat rekaman lagu dari Giant Step dalam album Kukuh Nan Teguh namun sayang rekaman ini tidak bergeming di pasar, sehingga group musik rock lainnya hanya bersedia diproduksi sebuah perusahaan rekaman jika merekam lagu-lagu yang sweet atau pop. Selain itu group musik dari Solo Ternchem yang dikomandani oleh almarhun Bernard Pirnadi yang terkenal dengan pertunjukan ularnya di atas panggung membuat rekaman pertama pada tahun 1973, namun lagu-lagu yang diciptakannya kurang mendapat tempat di hati pendengar musik pop di negeri ini. Menurut Bambang SP (anggota Ternchem) ketidakberhasilan rekaman mereka karena lagu-lagunya masih terpengaruh oleh irama hard rock yang hanya digemari oleh kalangan tertentu.
Agar tidak mengulangi kegagalan, Ternchem melakukan rekaman kedua pada pertengahan bulan April 1974, kali ini mereka akan merekam lagu yang lebih sesuai dengan selera masyarakat. Dikatakan oleh Ternchem bahwa lagu-lagu rekamannya lebih ditekankan pada segi komersial karena bagaimanapun lagu tersebut dikonsumsikan dan disesuaikan dengan selera masyarakat luas.
Pada tahun 1976 Superkid membuat album rekaman dengan judul Trouble Maker dan tahun 1978 membuat rekaman dengan judul Dezember Break di Nusantara Record Bandung, tetapi kedua album tersebut kurang sukses di pasarankecuali dikonsumsi oleh penggemar mereka saja. SAS yang kemudian juga masuk dapur rekaman masih menyelipkan beberapa lagu pop dengan alasan komersial. Lagu-lagu mereka yang berhasil menjadi terkenal atau hits justru bukan lagu rock, tetapi lagu pop. Grup The Fanny’s yang merupakan grup musik keras sempat melakukan dua kali rekaman. Rekaman pertama dilakukan pada tahun 1973 di Lokananta, tetapi tidak jadi diedarkan karena Lokananta tidak berani untuk berspekulasi. The Fanny’s lewat Studio Lokananta mengedarkan album rekaman pertamanya berjudul Cium Mesra. Dan seperti yang telah diramalkan oleh para pengamat musiksaat itu, album ini kurang mendapat sambutan di pasaran.
Jajat vokalis dari group musik cadas Paramour mengeluhkan kondisi musik banyak dicampuri oleh cukong rekaman. Jajat mengatakan bahwa sebetulnya dia merasa bosan dengan rekaman-rekaman dari group yang ada yang dirasakan sangat monoton, semuanya hampir sama, tetapi sebagai musisi yang dalam hal ini masih dicekcoki oleh sponsornya tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima. Dan Jajat saat itu terus terang bahwa bersama musisi lainnya dia masih perlu komersial dulu yang tentu saja datangnya dari sponsor atau cukong rekaman itu. Kalau mengikuti kehendak diri sendiri maka bisa mati kutu dan dalam album rekaman keenamnya akan membawakan lagu-lagu pop melayu sesuai dengan kehendak sponsor dan pada akhirnya Jajat sang vokalis Paramour yang dijaman jayanya dahulu memiliki stage act memikat yaitu seperti beratraksi main silat di panggung menjadi vokalis lagu dangshut hingga akhir hayatnya..
Sebagian besar rekaman group-group musik rock dekade 1970-an mengalami kegagalan seperrti group kebanggaan Medan Minstrel’s begitu mereka masuk studio rekaman Remaco, album mereka nyaris gagal total di pasaran tidak seperti ketika Fadhil Usman masih di Ivo’s Group pada di Remaco juga pada kurun waktu 1973/1974 yang mana bandnya itu sempat merilis beberapa album karena banyak sambutan positif dari para pecinta lagu pop saat banyak bermunculan group band bgroup band yang muncul setelaah kesukseesan group Rhaapsodia, Mercy’s, Koes Plus , Panbers dll saat itu . Untuk mengantisipasi agar tidak terjadi lagi kegagalan, maka salah satu solusinya adalah dengan membuat atau merekam lagu-lagu keroncong atau pop di antara lagu-lagu rock dalam album mereka. Tujuannya jelas yaitu agar musiknya lebih mudah untuk diterima oleh masyarakat dan laku di pasaran. Begitu juga yang terjadi di atas panggung, dalam menghadapi ujian selera dari masyarakat yang berubah, beberapa group musik mengubah pendirian dalam bermusik.
Fanny’s dari Semarang yang semula selalu membawakan lagu-lagu keras di atas panggung, mengubah pendiriannya dalam bermusik dengan membawakan lagu-lagu cengeng dan dangdut di atas panggung. Alasan grup musik ini membawakan lagu-lagu tersebut adalah untuk mengikuti selera masyarakat. Rhythm Kings dari Medan telah mencetak rekaman sampai dengan volume VI; Album volume I berisikan lagu-lagu keroncong, volume II berisikan lagu-lagu pop Indonesia.Volume III dan IV juga berisikan lagu-lagu pop Indonesia. Rekaman kedua Ternchem dilakukan di Remaco dan sebagian dari rekaman tersebut berisikan lagu-lagu keroncong dan lagu-lagu pop.
Beberapa musisi menjadi seorang yang bukan musisi lagi lantaran beralih profesi menjadi seorang pemain film. Misalnya Ucok Harahap dari AKA mengubah haluan artistik seninya untuk menjadi bintang film walaupun belum menjadi pameran utama, tetapi sebagai pameran pembantu dalam beberapa film. Selain itu, Ahmad Albar tampil dalam beberapa film, dan salah satu filmnya berjudul Irama Cinta dengan ratu dangdut Ely Sukaesih dan berduet membawakan lima lagu. Ahmad Albar menjajal kemampuannya dalam berakting. Film-film yang ia bintangi antara lain, Laki-laki Pilihan (1973), Laela Majenun (1975), Semalam di Malaysia (1976), Doel Anak Modern (1976), Duo Kribo (1978), dan Cubit-cubitan (1979). God Bless juga sempat hadir dalam film Ambisi (1973), Laela Majenun (1975), dan Semalam di Malaysia (1976). Tahun 1977 Ucok AKA tampil dalam Film Ciuman Beracun. Semenjak itulah Ucok AKA banyak tampil sebagai bintang film. Film-film yang pernah dibintanginya adalah Manusia Purba, Darah Muda, Lonceng Maut, Gara Gara Gila Buntut, Tante Sun, Ratapan Anak Tiri II
Kelesuan rekaman kaset rock bisa dilihat dari bangkrutnya Tri Angkasa Studio, satu perusahaan rekaman pertama yang khusus merekam lagu-lagu rock sejak tahun 1975. Pada bulan Desember 1976 Tri Angkasa Studio sudah menghentikan kegiatannya. Tri Angkasa Studio telah merekam kelompok musik rock seperti Barong’s, God Bless, Countra Punk, ERO, Guruh Gipsy.
Menjelang akhir dekade 1970-an secara drastis musik rock “dihajar” lagu-lagu cengeng, new wave dangdut, dan irama musik lainnnya. Hal seperti ini tidak bisa disangkal lagi sekalipun Ahmad Albar pernah mengeluh bahwa penurunan musik rock disebabkan oleh tiadanya alat-alat musik yang sanggup mendukung penampilan mereka. Musik rock di Indonesia tergantung hanya pada cukong alat musik saja. Kalau mereka sanggup membeli seperangkat alat musik mahal setaraf dengan apa yang dimiliki grup mancanegara, niscaya kehidupan musik rock tidak akan kembang kempis seperti sekarang.
Produser rekaman dalam kasus tertentu memberikan kebebasan bagi para musisinya untuk berkarya, contohnya AKA pada album-album pertamanya kental dengan unsur rock dan funk. James Brown memberikan pengaruh musikalitas yang cukup signifikan bagi grup AKA. Grup ini selalu tidak lupa menyanyikan lagu dari James Brown yang berjudul Sex Machine dalam pertunjukan musiknya. Bahkan AKA pun membuat lagu yang mirip karya Brown, seperti Shake Me dan Do What You Like.
Pengamat musik yang juga anggota kehormatan KPMI Ali Gunawan mengatakan pada dekade 1970-an produser tidak bisa mendikte pemusik sehingga karya-karya klasik bisa lahir. God bless merupakan grup hard rock ketiga yang naik kaset atau rekaman dengan konsep musiknya sendiri dalam arti merdeka, terlepas sama sekali dari giringan cukong.
Selain God bless, Giant Step mengeluarkan album kedua, ketiga dan keempat yang ketiga albumnya tersebut sama sekali tidak berkompromi dengan selera pasar yang ketika itu masih didominasi oleh lagu-lagu pop cinta remaja ala The Mercy’s, Koes Plus, dan Favorites Grup. The Rollies juga dikenal sebagai band yang tidak mau didikte oleh cukong. Tiga kali mereka rekaman tiga kali pula mereka ditolak oleh pihak rekaman karena lagu-lagu mereka ternyata kurang bisa menarik minat publik musik. Salah seorang personil Rollies, Benny mengatakan: ”Terus terang The Rollies kalah pamor dengan Koes Plus. Ketika kami diminta untuk membuat lagu seperti The Mercy’s, kami tidak sanggup. Mungkin karena kami terlalu idealis”
Rollies hanya disponsori satu album oleh produser rekaman Hayanto Gemilang karena ia merasa bahwa The Rollies tidak mau mengikuti saran yang ia berikan namun The Rollies tetap pada pendiriannya dan masih menyelipkan lagu-lagu yang berbahasa inggris. Akan tetapi dalam perkembangannya The Rollies mengambil langkah untuk lebih komersil dan mulai membuka diri dengan menyanyikan lagu-lagu karya komposer di luar tubuh The Rollies, misalnya A. Riyanto, Titiek Puspa, dan sebagainya.
Seperti halnya nama dari grup musik rock yang banyak mengambil dari nama-nama asing, beberapa dari grup musik itu juga mulai mencoba merintis membuat lagu dengan lirik menggunakan Bahasa Inggris. Kurun waktu akhir dekade 1960-an sampai dengan pertengahan dekade 1970-an adalah era suburnya lagu-lagu barat ciptaan musisi dalam negeri. Sekitar tahun 1971-1973, grup Rollies menghasilkan album rekaman yang menyertakan beberapa lagu yang menggunakan bahasa Inggris hasil ciptaan sendiri.
Grup Freedom of Rhapsodia pada pertengahan tahun 1973 juga menghasilkan album rekaman yang menyisipkan lagu-lagu barat. Seperti lagu Free To Love Another Girls,When The Night Was Falling, dan Don’t Go Away. Kelompok The Lizard memiliki album yang seluruhnya berbahasa Inggris,Deddy Stanzah bersama Gito Rollies melepas album Higher&Higher yang berisi 11 lagu berbahasa Inggris.
Begitu juga dengan God bless pada album pertama yang menyisipkan lagu barat ciptaan sendiri yang berjudul She Passed Away, AKA pada album Reflections (1971), Crazy Joe (1971), Sky Rider (1973), Cruel Side Of Suez War (1974), Mr. Bulldog (1975) , grup band SAS pada album Baby Rock (1976), Bad Shock (1976), Blue Sexy Lady (1977), Expectation (1977), Love Mover (1977). Grup Bani Adam mengeluarkan album pertama dengan empat lagu barat, di antaranya Bury Me down The River,Give Everything You’ve Got. Album Trouble Maker adalah album pertama dari Superkid yang dirilis pada tahun 1976 dimana sebagian besar dari lagu-lagu dalam album ini menggunakan bahasa Inggris antara lain My Iggy,Further In The Sea, Come Back To Me,How termasuk lagu Trouble Maker sebagai andalan mereka.
Sepertinya penciptaan lagu berbahasa Inggris terutama pada grup beraliran keras-selain berangan-angan besar juga membuktikan bahwa mereka mampu–sesuai nama grup dan kiblat musik mereka yang masih sangat ”membarat”. Hal ini nampak dalam cara memainkan beberapa melodi lagu yang serupa dengan milik supergrup dunia.
Grup-grup musik rock seperti AKA, SAS, Freedom of Rhapsodia,The Fanny’s, Ternchem, Minstrel’s dan grup musik panggung lainnya, identitas mereka sebagai kelompok musik hingar-bingar di panggung-panggung pertunjukan sudah jelas, tetapi identitas itu semakin kabur ketika banyak dari mereka masuk ke dalam dunia rekaman, mereka langsung menjadi Letoy bin Mellow.(dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar