Pemilihan umum atau sering disingkat sebagai Pemilu merupakan hal yang sudah lazim bagi rakyat Indonesia. pemilu merupakan sarana untuk menyalurkan suara untuk menuntut perubahan dengan menempatkan wakil-wakil pilihannya di lembaga eksekutif maupun legislative. Sepanjang sejarah berdirinya Republik Indonesia, pemilu sudah diadakan sebanyak 12 kali yang terbaru pada tahun 2019. Masayarakat di Indonesia selalu antusias terhadap gelaran pemilu yang tergambar pada tingginya angka partisipasi masyarakat terhadap setiap pemilu. Salah satu aspek yang sering disorot dalam setiap gelaran pemilu yaitu kehadiran partai sebagai kendaraan politik. Sepanjang sejarah keberadaan republik Indonesia hadir banyak partai yang tumbuh, berkembang, maupun mati dalam perjalanannya. Partai di Indonesia memiliki ideologinya masing-masing yang berusaha menjaring suara di konstituennya masing-masing. Indonesia memiliki masyarakat yang multikultur yang memungkinkan tumbuhnya partai-partai yang menyesuaikan kebutuhan masyarakat. Secara umum partai-partai di Indonesia dapat di kelompokan dalam beberapa kluster anatara lain partai nasionalis, partai berhaluan agama, partai sekuler, dan partai campuran.
Dalam setiap gelaran pemilu pasti terjadi persaingan antar partai yang berusaha menjaring suara dari konstituennya supaya dapat memenangkan pemilu dan memiliki suara dominan di parlemen. Hal ini juga terjadi pada gelaran pemilu tahun 1955. Pemilu ini ditujukan untuk memilih anggota legislatif yang nantinya akan menempati parlemen dan konstituante yang diadakan pada tanggal 29 september dan 15 desember tahun 1955. Pada masa itu terdapat partai besar sesuai dengan cluster ideologinya antara lain PNI yang mengusung nasionalisme, Masyumi dan Nahdatul Ulama dengan ideologi Islam, serta partai berhaluan kiri seperti PKI dan PSI (Partai Sosialisme Indonesia). selain ideologi tersebut ada juga ideologi lainnya seperti kristen (Parkindo), katolik (partai katolik), partaiu kesukuan (Partai Dayak), dan partai yang berasal dari lembaga negara (persatuan pegawai polisi RI). Masing-masing berusaha menjaring suara dari masing-masing segmentasinya sesuai dengan ideologinya. Pada masa-masa menjelang pemilu tahun 1955 terjadi perang idelogi untuk memperebutkan suara melalui beragam saluran seperti media cetak yang lazim pada saat itu, lewat poster-poster yang sering disembarkan di khalayak umum, bahkan sampai gesekan fisik antar juru kampanye yang disertai massa pendukungnya. Layaknya pemilu pada masa itu, Panitia Pemilu Indonesia (PPI) yang bertindak sebagai lembaga pemilihan umum memberikan waktu bagi partai-partai tersebut untuk melakukan kampanye menjelang pemilu, pelaksanaan kampanye pada masa itu belum diatur dengan jelas sehingga kampanye bahkan sudah terasa pada setahun sebelumnya. Kampanye dimulai melalui surat kabar yang ditujukan untuk menjangkau pembaca menegenai gagasan dan program kerja masing-masing partai. Pada masa itu masing-masing partai memiliki surat kabarnya masing-masing yang pada tulisannya memuat tulisan tentang partai yang didukungnya dengan mencantumkan hal-hal baik serta program-program luar biasa yang digunakan untuk memikat pembacanya supaya memilih partai tersebut. Hal ini berubah menjadi serangan-serangan yang dialamatkan kepada lawan politik dengan black campaign dengan tujuan menjatuhkan pihak lawan. Persaingan paling kentara terwujud dalam persaingan antara masyumi dengan PKI. Hal ini terjadi akibat pertentangan ideologi antara kedua partai tersebut.
Spoiler for kampanye masyumi :
Kampanye hitam menjadi hal yang lumrah terutama persaingan antara PKI dan Masyumi yang saling mencari celah untuk menyerang satu sama lain. Untuk menyerang PKI secara telak, masyumi menggunakan isu agama yang menuduh bahwa PKI merupakan perkumpulan orang-orang sesat yang tidak beragama atau atheis. Tuduhan masyumi ini diperkuat dengan alasan bahwa PKI berusaha mengganti sila pertama dengan prinsip kebebasan beragama yang mengakui kebebasan untuk tidak beragama sekalipun. Hal ini dianggap masyumi sebagai propaganda anti agama yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia yang beragama dan religius. Menurut salah satu tokoh masyumi, Jusuf Wibisono yang dimuat dalam surat kabar Abadi mengungkapkan msutahil untuk menyatukan golongan agama dengan kalangan komunis karena komunis tidak beragama. Dengan adanya isu ini merupakan pukulan telak bagi PKI yang menempatkan mereka sebagai lawan kaum beragama dan isu ini berhasil terutama di daerah-daerah basis islam di jawa barat. Untuk mengatasi tudingan dan serangan tersebut, PKI berusaha untuk merangkul kaum beragama melalui Aidit PKi memberikan pernyataan bahwa PKI berusaha memperjuangkan kebebasan beragama di indonesia yang mengibaratkan Indonesia sebagai taman dimana semua agama dan keyakinan politik hidup secara harmonis serta bersama-sama menghancurkan imperialisme. Hal ini dipertegas oleh Aidit dalam pidatonya didepan kadernya di Malang “Nabi Muhammad Saw. bukanlah milik Masyumi sendiri, iman Islamnya jauh lebih baik daripada Masyumi. Memilih Masyumi sama dengan mendoakan agar seluruh dunia masuk neraka. Masuk Masyumi itu haram dan masuk PKI itu halal!” ujarnya. Sontak ujarannya tersebut menyulut reaksi keras dari kader masyumi yang berada di lokasi tersebut dan menciptakan terjadinya gesekan. Aidit langsung mengkoreksi perkataannya dengan mengatakan “Apabila diantara saudara ada yang tersinggung oleh ucapan-ucapan saya, maka saya meminta maaf. Saya hanya ingin mengatakan bahwa PKI tidak anti agama.” Butuh usaha yang keras untuk melepaskan PKI dari citra musuh agama dan mereka berusaha menyerang Masyumi dengan isu pro Amerika.
Spoiler for poster yang memuat serangan PKI:
Hubungan antara masyumi dengan amerika memang tak dipungkiri terjadi. Melalui CIA, amerika melakukan pendekatan terhadap masyumi yang dipandang oleh amerika dapat menjadi pengimbang kekuatan PKI di Indonesia supaya tidak terjerumus menjadi negara diktator komunis. Sebagai tindak lanjut atas hubungan itu, CIA mengirimkan dana sebesar $1 juta yang digunakan untuk melakukan kampanye pada pemilu tahun 1955. Isu tersebut digunakan oleh PKI untuk menyerang balik masyumi dan menuding masyumi sebagai antek barat yang pro terhadap neo-imperialisme. Serangan tersebut menjadi mimpi buruk bagi masyumi yang cukup menyusahkan mereka. Untuk mengatasi isu tersebut dalam setiap kampanyenya, masyumi selalu menampilkan bahwa masyumi juga anti barat dan anti terhadap neo-kolonialisme. Pada pertemuan masyumi di di jember pada 21 Juli 1954, tokoh masyumi dari Sukabumi Muchtar Chazaly bertanya pada hadirin “Siapa disini yang memiliki gambar Eisenhower?” hadirin dengan jumlah sekitar 10.000 orang dengan lantang meneriakkan ‘tidak!’. Hal ini digunakan oleh masyumi untuk menampik tuduhan PKI bahwa Masyumi didukung oleh Amerika. Muhtar secara tegas justru menyatakan bahwa tokoh-tokoh PKI yang sering memajang foto pemimpin komunis macam malenkov, mao tse tung dan lain-lain. Isu-isu ini sudah terlanjur menyebar dimasyarakat dan diyakini oleh sebagian masyarakat, terlebih timbul peristiwa PRRI Permesta pada tahun 1957yang menuduh masyumi juga terlibat dan PKI yang dianggap sebagai mata-mata soviet di Indonesia.
Spoiler for sindiran masyumi terhadap lawan politiknya:
Perang propaganda terjadi juga di masing-masing sayap gerakan PKI dan masyumi. Masyumi melalui majalah Hikmah memuat keputusan sidang majelis syuro Partai Masyumi yang menyatakan penganut komunisme sesat. “Seseorang Muslim jang mengikuti komunisme atau organisasi komunis....maka ia adalah sesat,” tulis Hikmah mengutip keputusan sidang majelis syuro Masyumi, 23-24 Desember 1954. Selanjutnya giliran PKI melalui Harian Rakyat edisi minggu pertama maret 1954 yang menyatakan masyumi sebagai partai teror karena mendukung DI kartosuwiryo yang mengganggu ksetabilan Indonesia serta menyerang harian Abadi yang menjadi sayap Masyumi sebagai surat kabar yang mnemutarbalikan fakta. Tuduhan PKI tersebut menyulut kemarahan salah satu kader Masyumi bernama Isa Anshary yang mendirikan Front anti-komunisme untuk menghadapi propaganda PKI yang semakin masif. Kehadiran front ini didukung dengan pemberian fatwa murtad bagi anggota masyumi yang tidak melawan PKI secara frontal yang dikeluarkan oleh ulama Persatuan Islam (Persis). Pendirian front anti komunis oleh isa tidak diakui ebagai gerakan resmi oleh pemimpin pusat masyumi seperti Moh. Natsir, Rusjad Nurdin dan Umar Suriatmadja yang menghindari kontak fisik dengan PKI. Sementara di satu sisi, PKI berusaha merebut hati sebagian masa masyumi yang menyebut tidak semua kader masyumi agen amerika dan musuh PKI.
Spoiler for kampanye oleh PKI:
Menjelang berakhirnya masa kampanye pemilu tahun 1955, kampanye makin dimasifkan oleh para juru kampanye masing-masing partai tak terkecuali PKI dan Masyumi. Hari menjelang pemilu diwarnai dengan kampanye akbar di lapangan-lapangan serta banyaknya juru-juru kampanye yang masuk ke kampung-kampung untuk meraih hati pemilihnya. PKi menggunakan pementasan keroncong untuk memikat masa dalam jumlah besar dalam setiap kampanyenya. Sedangkan masyumi menggunkan musik melayu di kampanyenya. Pada masa ahir menjelang pemilu yang pada saat ini lazim disebut hari tenang, juru kampanye beramai-ramai melakukan pawai kendaraan dengan menggunakan mobil, delman, serta becak yang dilengkapi alat-alat pengeras suara masuk dan berkeliling kampung. Pada masa ini seringkali pimpinan parpol turun ke jalan, bertemu masyarakat, menghampiri tukang becak dan bersalaman untuk menampilkan rasa dekat dan citra pembela orang kecil. Hal ini dilakukan oleh muhammad Natsir yang merupakan pimpinan partai masyumi dan tak kalah dilakukan oleh Aidit juga. Seringkali terjadi aksi-aksi untuk menggembosi kampanye lawan seperti contoh yang terjadi di tanjung priok ketika masa Masyumi akan melakukan orasi, pengeras suaranya di sabotase oleh buruh-buruh pelabuhan yang condong ke PKI. Tak jarang kedua masa saling ejek seperti contoh ketika masa PKI dan masyumi bergantian menggunakan lapangan banteng untuk berorasi, simpatisan PKI mengatakan “Jangan pilih Masyumi, nanti Lapangan Banteng diubah menjadi Lapangan Unta." Yang dibalas juga oleh Simpatisan masyumi dengan “Jangan pilih PKI, nanti Lapangan Banteng diubah jadi Lapangan Merah (nama Lapangan Kremlin di Moskow)."
Spoiler for suasana pemilu tahun 1955:
Serunya suasana Pemilu saat itu membuat pers asing pun memberitakannya. Mereka meramalkan Masyumi akan mendapatkan kemenangan meyakinkan, kemudian disusul PNI, PKI, dan PSI. Pemungutan Suara dilaksanakan pada 29 september 1955 untuk memilih anggota DPR dan 15 Desember untuk memilih konstituante. Pemungutan suara dilaksanakan dengan kondusif yang dijaga oleh aparat keamanan yang uniknya pada sat itu juga melaksanakan pemilihan. PNI yang menjadi partai nasionalis pimpinan sukarno menjadi pemenang pemilu dengan memenangkan 57 kursi di DPR dengan 8.434.653 suara. Disusul dengan Masyumi dan NU di peringkat dua dan tiga. Secara mengejutkan PKI menempati posisi ke empat dengan 39 kursi yang meraup 6.179.914 suara. Dengan berahirnya pemilu tidak menghentikan persaingan antara masyumi dan PKI yang semakin panas di parelemen yang berujung pada pembubaran Masyumi bersama PSI melalui Kepres 200/1960, 17 Agustus 1960. Keterlibatan PSI dan Masyumi dalam PRRI/Permesta menjadi alasan bagi pemerintah Sukarno untuk membubarkan dua partai itu. Sementara PKI menemui ajalnya pada tahun 1965 ketika meletus peristiwa G30S. terlepas dari apapun ideology partai, persaingan akan selalu Nampak di perpolitikan Indonesia dan masyumi PKI menjadi tumbal politik Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar