Senin, 22 Juni 2020

ORANG TOBA BUKAN KANIBAL


ORANG TOBA BUKAN KANIBALBatak Warriors / Photo: Kristen Feilberg (1839–1919).
Source: commons.wikimedia.org


Latar Belakang Orang Toba
Orang Toba memiliki DNA yang terdiri dari: Austronesia (55%), Austro Asiatik (25%), dan Negrito (20%) dengan kebudayaannya yang didominasi oleh kebudayaan Dongson dari kelompok kebudayaan Austronesia (Simanungkalit, 2015). Kebudayaan Dongson adalah kebudayaan zaman perunggu yang berkembang di lembah Song Hong, Vietnam dan secara keseluruhan dapat dinyatakan sebagai hasil karya kelompok bangsa Austronesia yang terutama menetap di pesisir Annam. Kebudayaan ini sendiri mengambil nama situs Dongson di Tanh Hoa dan berkembang antara abad ke-5 hingga abad ke-2 SM. Masyarakat Dongson adalah masyarakat petani dan peternak yang handal serta terampil memancing. Mereka menetap dalam rumah-rumah panggung besar dengan atap yang melengkung lebar dan menjulur menaungi emperannya. Masyarakat Dongson juga dikenal sebagai masyarakat pelaut, yang melayari seluruh Laut China hingga ke selatan dengan perahu panjang bercadik dua.

China juga ikut mempengaruhi Kebudayaan Dongson sehubungan dengan adanya ekspansi China sampai ke perbatasan Tonkin. Pengaruhnya dapat dilihat pada motif-motif hiasan Dongson yang mengambil model benda-benda perunggu China. Kesenian Dongson berkembang sampai penjajahan Dinasti Han yang merebut Tonkin pada tahun 111 SM. Meski demikian, kebudayaan Dongson kemudian mempengaruhi kebudayaan Indochina selatan. Benda-benda arkeologi dari Dongson sangat beraneka ragam yang nampak dari artefak-artefak kehidupan sehari-hari ataupun peralatan bersifat ritual. Perunggu adalah bahan pilihan dalam benda-benda seperti kapak dengan selongsong, ujung tombak, pisau belati, mata bajak, topangan berkaki tiga dengan bentuk yang kaya dan indah. Kemudian gerabah dan jambangan rumah tangga, mata timbangan dan kepala pemintal benang untuk bertenun, perhiasan-perhiasan termasuk gelang dari tulang dan kerang, manik-manik dari kaca dan lain-lain yang diberi hiasan. Bentuk geometri merupakan ciri dasar dari kesenian ini di antaranya berupa jalinan arsir-arsir, segitiga dan spiral yang tepinya dihiasi garis-garis yang bersinggungan. Karya mereka yang terkenal adalah nekara besar serta patung-patung perunggu yang sering ditemukan di makam-makam pada tahapan terakhir masa Dongson (wikipedia).

Kebudayaan Dongson, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, merupakan hasil karya dariorang-orang Austronesia. Kebudayaan masa prasejarah tersebut tersebar di berbagai wilayah di Asia Tenggara daratan, kepulauan Indonesia, Filipina, Taiwan, pulau-pulau Pasifik hingga kepulauan Fiji. Ke barat, bukti-bukti tersebut dapat ditemukan hingga pulau Madagaskar, Afrika. Para ahli dewasa ini menyatakan bahwa migrasi orang-orang Austronesia terjadi dimulai dengan berlayar dari China Selatan menyeberangi lautan menuju Taiwan dan kepulauan Filipina. Migrasi Austronesia berlangsung terus hingga mulai memasuki Sulawesi, Kalimantan dan pulau-pulau lain di sekitarnya, serta mencapai Maluku dan Papua. Dalam masa itu pula orang-orang Austronesia dari daratan Asia Tenggara berangsur-angsur memasuki semenanjung Malaka dan pulau-pulau bagian barat Indonesia. Migrasi ke arah pulau-pulau di Pasifik berlanjut terus hingga awal Masehi. Mereka juga bermigrasi ke Sianjur Mula-mula, Negeri Toba.

Kebudayaan Dongson inilah yang mendominasi masyarakat Toba, sehingga kalau masyarakat Toba dikatakan merupakan masyarakat primitif, maka patut dipertanyakan ukuran keprimitifan yang dimaksud. Kemudian masyarakat Toba tidaklah gelap begitu saja sama sekali, karena beberapa penulis sudah mengungkapkan tentang masyarakat Toba di masa lalu melalui laporannya. Mereka itu adalah ]William MarsdenSir Thomas Stamford RafflesJohn AndersonF.W.Junghun, misionaris Richard Burton dan Nathaniel Ward, serta termasuk juga Herman Neubronner van der Tuuk (1851-1857). HN van der Tuuk sempat berkunjung ke Bangkara sebagai tamu Raja Singamangaraja XI dan karyanyalah yang kemudian dibaca oleh L.I Nommensen semasih di Eropa. Dan, van der Tuuk tidak dimakan!

Masyarakat Toba tidaklah tertutup, karena sejak dahulu kala sudah terjadi kontak dengan dunia luar melalui Barus, yang merupakan pelabuhan niaga internasional. Beberapa Raja dari dinasti Singamangaraja sudah berhubungan dengan pihak Aceh. Dan juga, Raja Sidabutar sudah berhubungan dengan Raja Aceh yang terlihat dari Sorkafagusnya di Tomok dengan perkiraan usia sekitar 450 tahun. Sejarah Banten juga mencatat bahwa Raja Singamangaraja sudah pernah berkunjung ke istana Banten sebagaimana penuturan keturunan Kesultanan Banten, Haji Abbas (Metro Siantar, 17/03/2012). Demikianlah gambaran masyarakat Toba sebelum kedatangan L.I Nommensen ke Negeri Toba/Tano Toba: Toba Humbang, Toba Holbung, Toba Silindung, dan Toba Samosir.


Stigma Orang Toba Kanibal
Cerita tentang kanibalisme banyak ditulis para musafir yang datang ke Sumatera. Berbagai cerita tentang kanibalisme di beberapa tempat dan salah satunya di wilayah Negeri Toba. Akan tetapi, satu hal patut dicatat apabila diperhatikan dan ditelusuri dengan cermat, bahwa Batak yang disebutkan di dalam tulisan para musafir tadi bukanlah Orang Toba, tetapi hal itu dihubungkan dengan masyarakat Kerajaan Nagur seperti diceritakan Marco Polo (Lihat: Dasuha, 2014: dalam http://halibitongan-masrulpurbadasuha.blogspot.com). Orang Toba belakangan ini cenderung merasa bahwa “Batak itu adalah Toba”, sehingga Orang Toba merasa bahwa Batak yang dimaksudkan oleh cerita cerita musafir tersebut adalah dirinya, Orang Toba.

Cerita tentang kanibalisme ini terasa dibesar-besarkan dengan memanfaatkan peristiwa yang dialami oleh misionaris Munson dan Lyman. Sebuah buku ejaan lama tentang riwayat L. I Nommensen yang sudah tidak jelas judul dan penulisnya menulis pada halaman 53: “Tutu holan Raja Panggalamei dohot na niradjaanna do anggo na mamunu pandita na dua i. Tarbagi do barangnasida, djala diallang do anggo dagingna.” Wikipedia juga memaparkan bahwa Samuel Munson dimakan (munched) di Lobu Pining oleh para kanibal. Seperti inilah gambaran yang diperoleh orang umumnya dan mengatakan Batak Toba itu kanibal.

Peristiwa kematian misionaris Munson dan Lyman (1834) ini diperbesar-besar dan diprovokasi Belanda sedemikian rupa untuk melegitimasi kedatangannya ke wilayah Toba. Padahal kita tahu bahwa banyak kekejaman dilakukan oleh Belanda selama penjajahannya di Indonesia seperti pembantaian massal yang dilakukan terhadap orang Gayo, Alas, dan Batak di daerah Alas pada awal abad ke-20. Pembantaian yang dilakukan oleh Belanda terhadap 40.000-an ribu orang di Makassar setelah Indonesia merdeka dan Westerling yang merupakan algojonya hidup tenang tanpa terjamah oleh hukum sampai masa tuanya. Kedua peristiwa ini hanya merupakan dua contoh saja yang diambil dari sekian banyak peristiwa lainnya termasuk membakar hidup-hidup Kapitan Pattimura dan Walter Robert Monginsidi di depan umum.
ORANG TOBA BUKAN KANIBALPembantaian oleh Belanda (jenazah yang diinjak tentara di dalam photo)

Orang Jerman pun turut meniup-niupkan masalah kanibalisme termasuk J.T. Nommensen, anak dari L.I Nommensen, turut meniup-niupkannya dengan menulis kutipan dialog pendeta kulit putih dengan seorang Toba (Nommensen, 2003:249). Hal ini dapat dilihat dalam buku “Ompu i Tuan Dr. I.L. Nommensen” yang ditulis oleh J.T. Nommensen, anak dari misionaris I.L. Nommensen sebagai berikut: “Sekarang zaman telah berubah pak guru, karena di pasar hanya dijual daging ayam dan daging babi, kalau dahulu tidak jarang tangan dan kaki manusia dapat dibeli di pasar.” (Nommensen, 2003:235). Gaya bahasa hiperbola seperti ini sangat provokatif sekali diikuti dengan dilatarbelakangi perasaan superior di mana Orang Toba digambarkan sebagai bangsa yang tadinya tidak beradab sudah berobah menjadi bangsa beradab.

Perubahan tersebut, maksudnya, tentu tidak lepas dari peran orang Jerman yang paling beradab dan berbudaya itu. Padahal, bagaimana mungkin dunia ini dapat melupakan 2.000.000-an orang Jahudi yang tewas.di kamp-kamp konsentrasi. Belum lagi mereka yang berseberangan dengan Nazi yang mati di tangan Gestapo serta pemerkosaan massal yang dilakukan oleh tentara Jerman ketika melakukan penyerangan ke Rusia pada Perang Dunia kedua. Seisi dunia tahu akan peristiwa tersebut dan apakah ini yang hendak dikatakan sebagai berbudaya dan beradab? Tak kalah mengherankan bahwa tidak adanya Orang Toba yang mengajukan protes terhadap buku J.T. Nommensen tersebut selama ini malah mencetak ulang buku tersebut terakhir pada tahun 2003 lalu, sedang cetakan pertama tahun 1921 meskipun buku tersebut nyata nyata merendahkan martabat Orang Toba.


Masyarakat Toba dalam Huta-Horja-Bius
Masyarakat Toba di masa lalu adalah masyarakat yang hidup di dalam huta-horja-bius. Mereka bukanlah bangsa yang liar dan barbar sebagaimana banyak digambarkan oleh misionaris Jerman yang datang ke Negeri Toba. Untuk dapat hidup bersama-sama dari sumber yang sama, maka mereka memiliki cara tersendiri untuk melakukan penataan dan pengaturan di dalam huta-horja-bius tadi. Cara berpikir mereka yang utuh dan menyeluruh terlihat ketika mereka membedakan dan menggabungkan hal-hal yang bersifat sekuler dan yang bersifar religius. Mereka mengorganisir diri dengan rapi, sehingga seluruh aktivitas hidup mereka tertata dan terorganisir di dalam huta-horja-bius, baik secara sekuler maupun religius. Karena, Dewan Bius bekerja berdampingan dengan Parbaringin walaupun ada pemisahan fungsi di mana Parbaringin berfungsi untuk memimpin hal-hal yang bersifat religius dan Dewan Bius menangani hal-hal yang bersifat sekuler di dalam lingkungan biusnya. Pada akhirnya, mereka dipersatukan di bawah pengayoman Dewa-raja, Singamangaraja sebagai primus interpares. Singamangaraja dipahami sebagai inkarnasi Batara Guru, sehingga menempatkan Singamangaraja sebagai Dewa-raja. Singamangaraja bukan Pendeta-raja atau Raja-imam seperti yang biasa disebut-sebut oleh para misionaris Jerman dan hal ini merupakan usaha mereduksi makna dan status lembaga Singamangaraja. Dalam kaitan dengan pemahaman bahwa Singamangaraja adalah inkarnasi Batara Guru, maka dalam konteks inilah Singamangaraja dipanggil ‘Ompu i’, sehingga Singamangaraja lah satu-satunya yang dipanggil ‘Ompu i”. Itulah sebabnya, menjadi aneh kalau L.I Nommensen dipanggil ‘Ompu i’ juga selain daripada hanya untuk mendeligitimasi Raja Singamangaraja dan membangun kultus individu.

Di dalam pengorganisasian masyarakat banyak seperti itu tentulah diperlukan peraturan/norma-norma, larangan, tabu, dan nilai-nilai yang dianut sebagai suatu kebaikan/kebenaran tertinggi di dalam diri mereka. Semuanya ini sudah dikemukakan di dalam huta-horja-bius yang telah dipaparkan dan sebagai wujud daripada itu dapat dilihat dari apa yang mereka lakukan ketika menyambut dan menerima misionaris Richard Burton dan Nathaniel Ward. Sebelumnya misionaris ini sudah melihat bagaimana baiknya mereka menata alam-lingkungannya, sawah dan sistem irigasinya, tanamannya, pasarnya, dan lain-lain. Mereka secara terbuka menyambut kedua misionaris ini dengan tor-tor dan memberikan tempat buat keduanya serta memberikan kesempatan kepada misionaris ini untuk bicara. Di hadapan 2.000 orang, misionaris ini bicara dan berkhotbah menyampaikan firman Tuhan, tetapi mereka menolak apa yang disampaikan misionaris tanpa ada permasalahan.

Dua minggu lamanya kedua misionaris tinggal bersama-sama mereka di Silindung, tapi kedua misionaris tidak dapat melanjutkan perjalanan ke Bangkara oleh karena penyakit disentri yang dideritanya. Ketika hendak kembali ke Sibolga, mereka masih mengadakan acara perpisahan dan menjamu kedua misionaris dengan makan pada acara perpisahan yang meriah dihadiri 7.000 orang. Sesampainya kedua misionaris di Sibolga, sampai juga surat undangan Singamangaraja untuk datang ke Bangkara sehubungan dengan kemarau yang sudah mulai merusak tanaman penduduk, tapi misionaris tidak dapat memenuhinya akibat dari penyakit disentri yang dideritanya. Semuanya ditulis Richard Burton dan Nathaniel Ward di dalam kesaksiannya tentang masyarakat Toba di lembah Silindung. Tak kalah pentingnya, bahwa Burton dan Ward tidak dimakan!

Kesaksian Richard Burton dan Nathaniel Ward (1824) ini mengkonfirmasi bagaimana baiknya pengorganisasian masyarakat Toba dalam huta-horja-bius sebelumnya. Gambaran masyarakat Toba ini menolak isu-isu isapan jempol tentang Orang Toba yang kanibal, barbar, tak berbudaya, liar, primitif dan hidup di dalam perang. Para misionaris Jerman ini selalu memandang Orang Toba sebagai berbudaya rendah, sedang mereka berbudaya tinggi dan superior, sehingga orang Toba harus dibentuk seperti mereka. Seperti Alapiso Siahaan berubah nama menjadi Sintua Laban Siahaan, yang fotonya sudah berpenampilan seperti orang Jerman jauh berbeda dengan penampilan Guru Somalaing Pardede dengan pakaian tradisionalnya. Padahal, mereka berdua ini sama-sama panglima Raja Singamangaraja XII. Para misionaris Jerman ini turut merusak sebagian tatanan masyarakat dalam huta-horja-bius tadi yang sudah memelihara hidup mereka dalam waktu yang sangat panjang. Pola huta-horja-bius ini telah membentuk mereka hidup di dalam sistim demokrasi yang federal seperti di Amerika Serikat. Belum lagi mereka banyak mengangkut kekayaan budaya Toba berupa buku laklak, patung, dan benda-benda lainnya. Apakah semua kekayaan budaya itu dibawa atas seijin Orang Toba atau dibawa diam-diam ke negeri Jerman? Ini masih patut dipertanyakan.

Quote:

Peneliti Jerman, Franz Wilhem Junghuhn, menjelajahi negeri Toba pada tahun 1840-1841. Selama 17 bulan keberadaannya di negeri Toba, Junghuhn mengaku tidak pernah menyaksikan praktek kanibalisme di desa-desa yang dilaluinya. Dia malah heran mengapa predikat barbar dan kanibalisme itu melekat pada diri orang-orang Toba selama berabad-abad. Dalam bukunya Die Battaländer auf Sumatra (1847), Junghuhn menyimpulkan bahwa cerita-cerita barbarisme dan kanibalisme hanya rumor yang sengaja diciptakan orang Toba sendiri untuk membentengi diri dari ancaman luar yang mungkin mengganggu ketenteraman mereka. Demikianlah orang Toba membentuknya selama berabad-abad (Hutahaen, 2011:2).

Memang masyarakat Toba mengalami penderitaan yang membuat mereka trauma berat akibat kekejaman yang dialami pada waktu invasi pasukan Paderi (1825-1829), setahun setelah kedatangan Richard Burton dan Nathaniel Ward (1824). Berbagai macam tindakan pasukan Paderi telah meluluh-lantakkan Tano Toba yang menewaskan banyak orang, membungi-hanguskan kampung, menjarah harta benda, dan membawa para perempuan untuk dijual. Keadaan tadi diikuti lagi oleh berkembangnya penyakit kolera akibat banyaknya mayat membusuk yang tidak dikubur, sehingga banyak meninggal akibatnya (http://batarahutagalung.blogspot.com...uanku-rao.html dan http://www.basyral-hamidy-harahap.com/blog). Di dalam kondisi trauma berat yang mereka alami itu, W.B. Sijabat menyebutnya Xenophobia, datanglah Munson dan Lyman (1834) ke Sisangkak, Lobupining.


Samuel Munson dan Henry Lyman
Sebelum berangkat ke pedalaman negeri Toba, Samuel Munson dan Henri Lyman bertemu dengan Nathaniel M. Ward di Padang pada 29 April 1834. Munson dan Lyman adalah warga negara Amerika Serikat dan sangat kritis terhadap sikap pemerintah Belanda sebagaimana perkataan Henri Lyman sendiri: “Selama 200 tahun penduduk pribumi tanpa kecuali telah dijadikan sasaran ketamakan dan ambisi; sasaran penindasan, dan alat mendapatkan keuntungan bagi penakluk asing. Dan penakluk itu menyebut dirinya orang Kristen!” (Sijabat, 2007:399).

Lebih jauh Prof. DR. W.B. Sijabat memaparkan tentang peristiwa Munson dan Lyman ini di dalam bukunya: “AHU SI SINGAMANGARAJA: Arti Historis, Politis, Ekonomis dan Religius Si Singamangaraja XII” (Pustaka Sinar Harapan, Jakarta: 2007:395-401). Munson dan Lyman sudah tahu sebelumnya, bahwa kalau penduduk menganggap mereka adalah “orang Belanda”, maka mereka pasti celaka. Hal ini sudah mereka pelajari dari kapten kapal Pago-pago yang mereka tumpangi dari Padang ke Sibolga, sedang orang Inggris, Amerika, Batak, Aceh atau Bugis akan diterima sebagai kawan. Penduduk sangat curiga terhadap Pidari dan Belanda (Sijabat, 2007:399-400).

Munson dan Lyman berangkat ke pedalaman dengan seorang yang bernama Jan, seorang yang misterius hingga saat ini, yang justru ditunjuk oleh orang Belanda sendiri di Sibolga. Mereka bermaksud pergi ke Sakka (Sisangkak. Pen.) hendak menginap di tempat raja na opat. Sesampainya mereka di daerah Sakka, justru Jan yang terlebih dahulu berbicara dengan penduduk di Lobupining, yang termasuk lingkungan raja na opat, berkedudukan di Sakka. Lobupining sudah ditugaskan raja na opat pada waktu itu untuk mengamati orang yang datang dari luar dan mau masuk ke Silindung, agar peristiwa seperti pada zaman masuknya pasukan Paderi tidak terulang kembali. Lobupining merupakan semacam pos pengawalan pasukan raja na opat, yang tunduk kepada Singamangaraja XI (Sijabat, 207:400).

Kedua misionaris langsung dikepung penduduk dan langsung dibunuh tanpa mengetahui apa yang dibisikkan oleh Jan kepada Orang Toba itu, namun bukan “dimakan” seperti yang digembar-gemborkan oleh pihak Belanda dan misionaris Jerman. Sementara Jan sendiri pergi melarikan diri kembali ke Sibolga kepada pihak Belanda. Data-data dalam Memoirs tadi menunjukkan, bahwa Jan, penunjuk jalan pilihan itu, mungkin sekali membisikkan kepada orang Sakka, bahwa kedua orang itu adalah dari pihak Belanda; oleh karena itu mereka segera dikepung dan dibunuh (Sijabat, 2007:400; Cf. Gould dan Pedersen).

Hal ini terbukti juga dari reaksi orang Toba sendiri di tempat itu setelah mengetahui kemudian hari, bahwa sebenarnya maksud Munson dan Lyman ialah tujuan baik, maka mereka mengambil tindakan tegas terhadap yang membunuh itu. Itulah sebabnya di dalam Memoirs Munson dan Lyman dapat dibaca catatan editor buku (Sijabat, 2007:400-401) tersebut:
When it became known from the natives on the coast and from others on the road, that the brethren were good men, and bad come to do the Batta nation good, all the vellages around leagued together for vengeance against the villages where the outrage was perpetrated, and to require blood for blood. The unhappy villages was named Sacca.

Setelah diketahui dari kalangan penduduk di bagian pantai dan dari orang yang mengadakan perjalanan, bahwa saudara-saudara itu orang-orang baik, dan datang hendak berbuat baik bagi Orang Toba, maka semua desa di sekitarnya berkumpul untuk mengadakan pembalasan terhadap desa yang melakukan kejahatan itu, dan menuntut darah ganti darah. Desa celaka itu disebut Sakka.


sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar