Jumat, 01 Mei 2020

Ambisi Gagal Sukarno Mempersenjatai Indonesia dengan Nuklir

Untuk pertama kalinya, Sukarno menunjukan dukungan terhadap rencana pengembangan senjata nuklir yang santer telah dibicarakan di lingkaran militer selama delapan bulan sebelumnya. 

Pada saat bersamaan, pemerintah sedang sibuk oleh kampanye anti-penjajahan laten Nekolim (Neokolonialisme, Kolonialisme, dan Imperialisme) sebagai dampak konfrontasi Indonesia-Malaysia pada 1962. Sukarno barangkali menganggap perjuangan bangsa melawan pengaruh asing akan lebih mudah jika mereka didukung senjata nuklir. 

“Bom atom itu bukan akan kita gunakan untuk mengagresi bangsa atau negara lain tetapi sekedar untuk menjaga kedaulatan tanah air kita dari gangguan-gangguan tangan jahil. Bila kita diganggu, maka seluruh rakyat Indonesia akan maju ke depan dan menggerakan seluruh senjata yang ada pada kita,” lanjut Sukarno dalam pidatonya. 

Pernyataan Sukarno sangat bertolak belakang dengan penyataan resmi yang diutarakan oleh Menteri Luar Negeri Soebandrio tujuh tahun sebelumnya. Di tahun 1958, Subandrio menuliskan dalam Pengaruh Tenaga Atom atau Tenaga Nuklir dalam Hubungan antar Negara (1958) bahwa Indonesia sama sekali tidak tertarik memiliki atau pun membuat senjata nuklir. Lantas apa yang membuat Sukarno berubah pikiran? 

Pada 1958, Indonesia baru saja membentuk Lembaga Tenaga Atom (LTA). Lembaga yang ditujukan untuk meneliti dan mengembangkan energi nuklir ini merupakan kelanjutan dari Komite Nasional Tenaga Atom yang dibentuk pada 1954. Komite tersebut bertugas menyelidiki kadar radioaktivitas di wilayah Indonesia timur sebagai antisipasi dampak percobaan ledakan bom termonuklir yang dilakukan Amerika Serikat di Samudera Pasifik. LTA pada dasarnya memiliki tugas yang lebih luas dibandingkan komite nasional. 

Melalui lembaga baru ini, Sukarno berharap Indonesia dapat mengejar ketertinggalan di bidang teknologi nuklir. Untuk itu, dia setuju mengikutsertakan LTA ke dalam program Atoms for Peace yang digagas oleh Presiden Amerika Serikat, Eisenhower, pada 1953. Robert M. Cornejo dalam tesis masternya yang berjudul When Sukarno Sought the Bomb: Indonesian Nuclear Aspirations in the mid-1960s (1999, PDF) mencatat kerjasama Indonesia-Amerika itu bermula pada Juni 1960. Kedua negara sepakat menandatangani perjanjian bilateral yang diikuti dengan pemberian dana bantuan sebesar 350 ribu dolar untuk membangun sebuah reaktor nuklir pertama bernama Triga Mark II di Bandung.

"Tujuan program ini adalah untuk mencegah pembiakan senjata nuklir dengan mengalihkan perhatian internasional dari pengembangan senjata ke arah penggunaan energi nuklir secara damai,” tulis Cornejo. Selain mendapat bantuan keuangan dan teknis dari Amerika, Indonesia juga dikabarkan mendapat tidak kurang dari 5 juta dolar dari Uni Soviet. Menurut Iwan Kurniawan dalam Pembangunan PLTN: Demi Kemajuan Peradaban? (1996, hlm. 201) dana dari Kremlin itu datang satu tahun lebih awal daripada dana Atoms for Peace. Intervensi Soviet di bidang teknologi nuklir memaksa Amerika semakin gencar mengikat Indonesia menggunakan bermacam-macam perjanjian nuklir. 


Download GTA San Andreas Mobile

Tidak ada komentar:

Posting Komentar