Senin, 22 Juni 2020

Daftar Kesadisan John Kei yang Sudah Terkenal

dengan gaya khas John Kei yaitu sadis dan bengis.


Lahir dengan nama John Refra di Tutrean, Pulau Kei, Maluku Utara 51 tahun lalu itu sejak remaja sangat dekat dengan kehidupan jalanan yang keras dan sadis. Di usia 15 tahun John sudah terbiasa hidup di kolong jembatan saat merantau di Surabaya pada 1986.


Dia berjuang sendirian untuk hidup hingga setahun kemudian merantau ke Jakarta dan memperkenalkan diri sebagai John Kei. Lagi-lagi pilihan hidupnya adalah lingkungan kekerasan yaitu Berlan dan kesadisan serta kebengisannya dimulai dan mengantarnya menjadi Godfather dunia kejahatan Jakarta;


Masuk penjara pertama kali karena pembunuhan sadis


Dilakukannya di tempat dia bekerja pada 12 Mei 1992. Saat itu lima hingga enam orang ribut di tempat kerjanya dan John berusaha melerai.


Ketika sedang melerai dia sempat terkena pukul dari kelompok yang berkelahi. Pukulan itu membuatnya ikut terlibat dalam perkelahian itu sampai polisi datang menyelesaikan masalah.


Tetapi John menganggapnya belum selesai, maka dia pulang ke tempat tinggal mengambil golok. John mengaku tidak berniat membunuh pemukulnya. “Niat saya mau kasih putus saja tangannya,” begitu John beralasan.


Ternyata saat dia mengayunkan parangnya justru mengenai leher musuhnya dan lawan itu langsung mati di tempat. Sementara kawan-kawan perusuh dia kejar dan dipotong kakinya.


John buron satu minggu, hingga 24 Mei 1992 dia menyerahkan diri ke Polda Metro Jaya, itu lah pertama kali masuk penjara.


Membunuh Anak Buah Basri Sangaji


Bentrokan antara kelompok Basri Sangaji dan John Kei di Diskotek Stadium di kawasan Taman Sari, Jakarta Barat terjadi 2 Maret 2004. Saat itu kelompok Basri menjaga diskotek dan diserang puluhan orang Kei. Dua penjaga keamanan dari kelompok Basri tewas.


Membunuh Basri Sangaji


Basri Sangaji tewas diserang sepuluh preman dari kelompok John Kei di kamar 301 Hotel Kebayoran Inn, Jakarta Selatan 12 Oktober 2004.


Tebas-tebasan parang di Jalan Ampera


Ratusan orang bersenjata parang, panah, pedang, dan celurit berhadapan di Jalan Ampera, Jakarta Selatan 1 Maret 2005, di Jalan Ampera depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ketika sidang pembunuhan Basri Sangaji. Sejumlah korban dari kedua kelompok terluka dan sidang dihentikan.


Berkelahi di Pengadilan


Keributan antara kelompok Basri Sangaji dan John Kei saat sidang kasus pemukulan di Diskotek Stadium, Jakarta Barat 8 Juni 2005. Kakak kandung John Kei, Walterus Refra Kei alias Semmy Kei, terbunuh di lahan parkir Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Tindakan ini merupakan balas dendam atas pembunuhan Basri Sangaji dan bentrokan di Diskotek Stadium.


Putuskan jari lawan


John Kei, pemuda Ambon, ditangkap Densus Antiteror 88 Kepolisian Daerah Maluku di Desa Ohoijang, Kota Tual, 11 Agustus 2008. Dia diduga kuat terlibat penganiayaan terhadap dua warga Tual, Charles Refra dan Remi Refra, yang menyebabkan jari kedua pemuda itu putus.


Bentrok di Blowfish tewaskan dua orang


Bentrokan di klub Blowfish, Wisma Mulia, Jakarta, 4 April 2010 menewaskan dua orang dari kelompok Kei, M. Sholeh dan Yoppie Ingrat Tubun. Klub Blowfish saat itu dijaga kelompok Flores Ende pimpinan Thalib Makarim.


Pengeroyokan sengketa warisan


Koordinator keamanan Koperasi Bosar Jaya, Logo Vallenberg, dikeroyok kelompok Umar Kei. Penyebabnya sengketa warisan antarkeluarga pemilik koperasi, 12 April 2010.


Bentrokan di Jalan Ampera Lagi


Bentrokan itu melawan Kelompok Flores atau Thalib Makarim ketika sidang kasus Blowfish sedang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 29 September 2010. Di Kelompok Kei jatuh korban tewas yaitu Frederik Philo Let Let berusia 29 tahun, Agustinus Tomas 49 tahun, dan seorang sopir Kopaja, Syaifudin, berusia 48 tahun.

Peran Zending Dalam Perang Toba (1878 dan 1883)


Peran Zending Dalam Perang Toba (1878 dan 1883)

Quote:

Raja Sisingamangaraja XII adalah Maharaja di Negeri Toba dari Bangkara. Namanya Patuan Bosar dengan gelar Ompu Pulo Batu dan naik tahta pada tahun 1876 menggantikan ayahnya Singamangaraja XI yang telah meninggal. Sementara itu L.I Nommensen sudah berada di Silindung sejak masa pemerintahan Raja Singamangaraja XI, karena Nommensen masuk ke Silindung pada tahun 1864.

Masyarakat Toba adalah masyarakat yang sudah memiliki tatanan yang mengatur hidupnya di mana mereka hidup di dalam Huta-Horja-Bius. Huta-Horja-Bius merupakan elemen dasar daripada sistim kelembagaan masyarakat Toba. Singamangaraja merupakan lembaga pemersatu masyarakat Toba secara keseluruhan. Singamangaraja dipahami sebagai inkarnasi Batara Guru, sehingga menempatkan Singamangaraja sebagai Dewa-raja. Singamangaraja bukan Pendeta-raja atau Raja-imam seperti yang biasa disebut-sebut oleh para misionaris Jerman dan hal ini merupakan usaha mereduksi makna dan status lembaga Singamangaraja. Dalam kaitan dengan pemahaman bahwa Singamangaraja adalah inkarnasi Batara Guru, maka dalam konteks inilah Singamangaraja dipanggil ‘Ompu i’, sehingga Singamangarajalah satu-satunya yang dipanggil ‘Ompu i”. Itulah sebabnya, menjadi aneh kalau L.I Nommensen dipanggil ‘Ompu i’ juga selain daripada hanya untuk membangun kultus individu/pengkultusan.

Para misionaris Jerman memandang masyarakat Toba sebagai bangsa kafir yang berjalan dalam kegelapan dan hasipelebeguon, barbar, tak berbudaya, kanibal, dlsb. Sementara misionaris Burton dan Ward dari Inggris menyebut masyarakat Toba sebagai masyarakat yang ramah menyambut mereka dengan pesta dan tor-tor pada tahun 1824. Meskipun pemberitaan Injil yang mereka sampaikan ditolak, tetapi mereka masih tetap tinggal di sana beberapa waktu dan perpisahan untuk mereka dilakukan meriah dengan pesta dan tortor sebagaimana mereka tulis sendiri di dalam memoarnya. Berbeda dengan sebuah buku riwayat pelayanan L.I Nommensen dalam bahasa Toba ejaan lama yang mengatakan bahwa Burton dan Ward diusir. Mungkin penulis buku tersebut “salah mendengar informasi”, karena perhatiannya terlalu terfokus hanya kepada Nommensen dalam rangka pengkultusan.

Dengan cara pandang misionaris Jerman yang demikian, maka dapat dibayangkan mengenai pendekatan yang mereka lakukan di dalam pemberitaan Injil. Larangan margondang dan manortor yang diganti alat musik tiup Jerman serta mengijinkan perkimpoian satu marga adalah keputusan yang fatal dan ekstrim (Kozok, 2010). Dapat dibayangkan bahwa sikap ini akan menimbulkan gejolak di dalam masyarakat Toba yang hidup di dalam sistem Huta-Horja-Bius. Apalagi Nommensen memiliki pandangan ekstrim bahwa 3-H (Hamoraon-Hagabeon-Hasangapon) adalah dosa besar.

Sebenarnya, sejak dari awal sudah ada permasalahan yang dilakukan oleh misionaris Jerman itu , karena tindakan misionaris mengundang Gubernur Pantai Barat Sumatra Arriens menjelang Natal 1868 yang jelas-jelas melanggar kedaulatan Raja Singamangaraja XII (Kozok, 2010:20-21):

Quote:

Gelagat para misionaris Jerman itu sudah terlihat dari awal akan meminta bantuan Belanda meskipun secara militer dan ekonomis tidaklah menguntungkan bagi Belanda untuk menganeksasi Negeri Toba. Baru 4 tahun (1864-1868) Nommensen di Silindung sudah memperlihatkan sikap membangkang terhadap Raja Singamangaraja XII di wilayah kekuasaannya. Kemudian mereka malah bertindak lebih jauh lagi dengan meminta bantuan kepada kolonial Belanda sekaligus untuk menaklukkan Negeri Toba:

Quote:

Ketika Negeri Toba dianeksi dalam Perang Toba I pada tahun 1878, ada enam penginjil di Silindung, yaitu: Johansen, Metzler, Mohri, Nommensen, Püse, dan Simoneit. Yang paling tua di antara mereka ialah L.I Nommensen. Keenam misionaris Jerman inilah yang bertanggungjawab atas penaklukan Negeri Toba sekaligus menjadi dijajah oleh kolonial Belanda.

Semua tindakan mereka tersebut adalah atas sepengetahuan dan tentunya persetujuan dari Kantor Pusat RMG di Jerman meskipun kemudian tindakan tersebut mendapat kecaman. Hal ini dapat terlihat dari laporan Nommensen yang dipublisir oleh RMG di dalam majalah BRMG (Kozok, 2010) sebagai berikut:

Quote:

BRMG, majalah RMG, membuat berita dengan memasukkan laporan L.I Nommesen, sehingga diketahui bagaimana sebenarnya gambaran Raja Singamangaraja XII dalam pandangan L.I Nommensen sebagai berikut:

Quote:

Dalam kaitan dengan masalah-masalah ini semuanya, misionaris Metzler menulis di dalam suratnya yang diterbitkan juga oleh BRMG (Kozok, 2010) sebagai berikut:

Quote:

Fakta-fakta yang sengaja dikutip di atas adalah untuk membeberkan bagaimana permasalahan sebelum Perang Toba dan sebagian daripada saat Perang Toba I. Melalui fakta-fakta di atas dapat disimpulkan bahwa jelas-jelas pihak misionaris Jerman itulah yang bermasalah dengan Orang Toba dan Maharaja di Negeri Toba. Sebagai solusinya, mereka meminta bantuan Belanda untuk menaklukkan Negeri Toba untuk dikuasai oleh kolonial Belanda.
Selanjutnya, dari surat Nommensen dan Metzler diketahui bahwa para misionaris Jerman tersebut menjadi juru bahasa melakukan penyerangan ke berbagai daerah dan kampung dan membakari rumah-rumah rakyat. Seratus lebih kampung dibakar dalam rangka bumi hangus, sehinggga membuat banyak rakyat menderita terutama ibu-ibu dan anak-anaknya yang harus tidur di hutan. Tidak terhitung yang tewas, luka, dan disiksa. Mereka dipaksa membayar rampasan perang dan dipaksa bersumpah-setia kepada Belanda. Di dalam surat tersebut, berulang-ulang L.I Nommensen menyebut rakyat yang dibakari kampungnya adalah “musuh” (Kozok, 2010), Beginilah penderitaan bangsa Indonesia yang diakibatkan oleh ulah para misionaris Jerman dalam Batakmission itu. Atas jasa-jasa Nommensen terhadap Belanda ini, maka Belanda memberikan hadiah berupa uang sebesar 1.000 Gulden di atas penderitaan bangsa Indonesia.

Hasil akhir dari Perang Toba ini ialah hancurnya kekayaan budaya Toba baik seperti huta-horja-bius dan hilangnya benda-benda budaya dibawa ke Jerman dan Belanda. Banyaknya korban jiwa dan berbagai penderitaan fisik yang dialami bangsa Indonesia di Negeri Toba yang kemudian dijajah kolonial Belanda.

Gugurnya Raja Singamangaraja XII bersama dua orang putranya dan seorang putrinya disertai pejuang-pejuang lainnya pada 17 Juni 1907. Meskipun demikian, ada satu hal yang masih tersisa dari Perang Toba, yaitu semangat juang dan kegigihan Raja Singamangaraja XII yang konsisten sampai akhir yang patut diwarisi dan diteladani masyarakat Toba di masa kini.***





sumber artikel

ORANG TOBA BUKAN KANIBAL


ORANG TOBA BUKAN KANIBALBatak Warriors / Photo: Kristen Feilberg (1839–1919).
Source: commons.wikimedia.org


Latar Belakang Orang Toba
Orang Toba memiliki DNA yang terdiri dari: Austronesia (55%), Austro Asiatik (25%), dan Negrito (20%) dengan kebudayaannya yang didominasi oleh kebudayaan Dongson dari kelompok kebudayaan Austronesia (Simanungkalit, 2015). Kebudayaan Dongson adalah kebudayaan zaman perunggu yang berkembang di lembah Song Hong, Vietnam dan secara keseluruhan dapat dinyatakan sebagai hasil karya kelompok bangsa Austronesia yang terutama menetap di pesisir Annam. Kebudayaan ini sendiri mengambil nama situs Dongson di Tanh Hoa dan berkembang antara abad ke-5 hingga abad ke-2 SM. Masyarakat Dongson adalah masyarakat petani dan peternak yang handal serta terampil memancing. Mereka menetap dalam rumah-rumah panggung besar dengan atap yang melengkung lebar dan menjulur menaungi emperannya. Masyarakat Dongson juga dikenal sebagai masyarakat pelaut, yang melayari seluruh Laut China hingga ke selatan dengan perahu panjang bercadik dua.

China juga ikut mempengaruhi Kebudayaan Dongson sehubungan dengan adanya ekspansi China sampai ke perbatasan Tonkin. Pengaruhnya dapat dilihat pada motif-motif hiasan Dongson yang mengambil model benda-benda perunggu China. Kesenian Dongson berkembang sampai penjajahan Dinasti Han yang merebut Tonkin pada tahun 111 SM. Meski demikian, kebudayaan Dongson kemudian mempengaruhi kebudayaan Indochina selatan. Benda-benda arkeologi dari Dongson sangat beraneka ragam yang nampak dari artefak-artefak kehidupan sehari-hari ataupun peralatan bersifat ritual. Perunggu adalah bahan pilihan dalam benda-benda seperti kapak dengan selongsong, ujung tombak, pisau belati, mata bajak, topangan berkaki tiga dengan bentuk yang kaya dan indah. Kemudian gerabah dan jambangan rumah tangga, mata timbangan dan kepala pemintal benang untuk bertenun, perhiasan-perhiasan termasuk gelang dari tulang dan kerang, manik-manik dari kaca dan lain-lain yang diberi hiasan. Bentuk geometri merupakan ciri dasar dari kesenian ini di antaranya berupa jalinan arsir-arsir, segitiga dan spiral yang tepinya dihiasi garis-garis yang bersinggungan. Karya mereka yang terkenal adalah nekara besar serta patung-patung perunggu yang sering ditemukan di makam-makam pada tahapan terakhir masa Dongson (wikipedia).

Kebudayaan Dongson, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, merupakan hasil karya dariorang-orang Austronesia. Kebudayaan masa prasejarah tersebut tersebar di berbagai wilayah di Asia Tenggara daratan, kepulauan Indonesia, Filipina, Taiwan, pulau-pulau Pasifik hingga kepulauan Fiji. Ke barat, bukti-bukti tersebut dapat ditemukan hingga pulau Madagaskar, Afrika. Para ahli dewasa ini menyatakan bahwa migrasi orang-orang Austronesia terjadi dimulai dengan berlayar dari China Selatan menyeberangi lautan menuju Taiwan dan kepulauan Filipina. Migrasi Austronesia berlangsung terus hingga mulai memasuki Sulawesi, Kalimantan dan pulau-pulau lain di sekitarnya, serta mencapai Maluku dan Papua. Dalam masa itu pula orang-orang Austronesia dari daratan Asia Tenggara berangsur-angsur memasuki semenanjung Malaka dan pulau-pulau bagian barat Indonesia. Migrasi ke arah pulau-pulau di Pasifik berlanjut terus hingga awal Masehi. Mereka juga bermigrasi ke Sianjur Mula-mula, Negeri Toba.

Kebudayaan Dongson inilah yang mendominasi masyarakat Toba, sehingga kalau masyarakat Toba dikatakan merupakan masyarakat primitif, maka patut dipertanyakan ukuran keprimitifan yang dimaksud. Kemudian masyarakat Toba tidaklah gelap begitu saja sama sekali, karena beberapa penulis sudah mengungkapkan tentang masyarakat Toba di masa lalu melalui laporannya. Mereka itu adalah ]William MarsdenSir Thomas Stamford RafflesJohn AndersonF.W.Junghun, misionaris Richard Burton dan Nathaniel Ward, serta termasuk juga Herman Neubronner van der Tuuk (1851-1857). HN van der Tuuk sempat berkunjung ke Bangkara sebagai tamu Raja Singamangaraja XI dan karyanyalah yang kemudian dibaca oleh L.I Nommensen semasih di Eropa. Dan, van der Tuuk tidak dimakan!

Masyarakat Toba tidaklah tertutup, karena sejak dahulu kala sudah terjadi kontak dengan dunia luar melalui Barus, yang merupakan pelabuhan niaga internasional. Beberapa Raja dari dinasti Singamangaraja sudah berhubungan dengan pihak Aceh. Dan juga, Raja Sidabutar sudah berhubungan dengan Raja Aceh yang terlihat dari Sorkafagusnya di Tomok dengan perkiraan usia sekitar 450 tahun. Sejarah Banten juga mencatat bahwa Raja Singamangaraja sudah pernah berkunjung ke istana Banten sebagaimana penuturan keturunan Kesultanan Banten, Haji Abbas (Metro Siantar, 17/03/2012). Demikianlah gambaran masyarakat Toba sebelum kedatangan L.I Nommensen ke Negeri Toba/Tano Toba: Toba Humbang, Toba Holbung, Toba Silindung, dan Toba Samosir.


Stigma Orang Toba Kanibal
Cerita tentang kanibalisme banyak ditulis para musafir yang datang ke Sumatera. Berbagai cerita tentang kanibalisme di beberapa tempat dan salah satunya di wilayah Negeri Toba. Akan tetapi, satu hal patut dicatat apabila diperhatikan dan ditelusuri dengan cermat, bahwa Batak yang disebutkan di dalam tulisan para musafir tadi bukanlah Orang Toba, tetapi hal itu dihubungkan dengan masyarakat Kerajaan Nagur seperti diceritakan Marco Polo (Lihat: Dasuha, 2014: dalam http://halibitongan-masrulpurbadasuha.blogspot.com). Orang Toba belakangan ini cenderung merasa bahwa “Batak itu adalah Toba”, sehingga Orang Toba merasa bahwa Batak yang dimaksudkan oleh cerita cerita musafir tersebut adalah dirinya, Orang Toba.

Cerita tentang kanibalisme ini terasa dibesar-besarkan dengan memanfaatkan peristiwa yang dialami oleh misionaris Munson dan Lyman. Sebuah buku ejaan lama tentang riwayat L. I Nommensen yang sudah tidak jelas judul dan penulisnya menulis pada halaman 53: “Tutu holan Raja Panggalamei dohot na niradjaanna do anggo na mamunu pandita na dua i. Tarbagi do barangnasida, djala diallang do anggo dagingna.” Wikipedia juga memaparkan bahwa Samuel Munson dimakan (munched) di Lobu Pining oleh para kanibal. Seperti inilah gambaran yang diperoleh orang umumnya dan mengatakan Batak Toba itu kanibal.

Peristiwa kematian misionaris Munson dan Lyman (1834) ini diperbesar-besar dan diprovokasi Belanda sedemikian rupa untuk melegitimasi kedatangannya ke wilayah Toba. Padahal kita tahu bahwa banyak kekejaman dilakukan oleh Belanda selama penjajahannya di Indonesia seperti pembantaian massal yang dilakukan terhadap orang Gayo, Alas, dan Batak di daerah Alas pada awal abad ke-20. Pembantaian yang dilakukan oleh Belanda terhadap 40.000-an ribu orang di Makassar setelah Indonesia merdeka dan Westerling yang merupakan algojonya hidup tenang tanpa terjamah oleh hukum sampai masa tuanya. Kedua peristiwa ini hanya merupakan dua contoh saja yang diambil dari sekian banyak peristiwa lainnya termasuk membakar hidup-hidup Kapitan Pattimura dan Walter Robert Monginsidi di depan umum.
ORANG TOBA BUKAN KANIBALPembantaian oleh Belanda (jenazah yang diinjak tentara di dalam photo)

Orang Jerman pun turut meniup-niupkan masalah kanibalisme termasuk J.T. Nommensen, anak dari L.I Nommensen, turut meniup-niupkannya dengan menulis kutipan dialog pendeta kulit putih dengan seorang Toba (Nommensen, 2003:249). Hal ini dapat dilihat dalam buku “Ompu i Tuan Dr. I.L. Nommensen” yang ditulis oleh J.T. Nommensen, anak dari misionaris I.L. Nommensen sebagai berikut: “Sekarang zaman telah berubah pak guru, karena di pasar hanya dijual daging ayam dan daging babi, kalau dahulu tidak jarang tangan dan kaki manusia dapat dibeli di pasar.” (Nommensen, 2003:235). Gaya bahasa hiperbola seperti ini sangat provokatif sekali diikuti dengan dilatarbelakangi perasaan superior di mana Orang Toba digambarkan sebagai bangsa yang tadinya tidak beradab sudah berobah menjadi bangsa beradab.

Perubahan tersebut, maksudnya, tentu tidak lepas dari peran orang Jerman yang paling beradab dan berbudaya itu. Padahal, bagaimana mungkin dunia ini dapat melupakan 2.000.000-an orang Jahudi yang tewas.di kamp-kamp konsentrasi. Belum lagi mereka yang berseberangan dengan Nazi yang mati di tangan Gestapo serta pemerkosaan massal yang dilakukan oleh tentara Jerman ketika melakukan penyerangan ke Rusia pada Perang Dunia kedua. Seisi dunia tahu akan peristiwa tersebut dan apakah ini yang hendak dikatakan sebagai berbudaya dan beradab? Tak kalah mengherankan bahwa tidak adanya Orang Toba yang mengajukan protes terhadap buku J.T. Nommensen tersebut selama ini malah mencetak ulang buku tersebut terakhir pada tahun 2003 lalu, sedang cetakan pertama tahun 1921 meskipun buku tersebut nyata nyata merendahkan martabat Orang Toba.


Masyarakat Toba dalam Huta-Horja-Bius
Masyarakat Toba di masa lalu adalah masyarakat yang hidup di dalam huta-horja-bius. Mereka bukanlah bangsa yang liar dan barbar sebagaimana banyak digambarkan oleh misionaris Jerman yang datang ke Negeri Toba. Untuk dapat hidup bersama-sama dari sumber yang sama, maka mereka memiliki cara tersendiri untuk melakukan penataan dan pengaturan di dalam huta-horja-bius tadi. Cara berpikir mereka yang utuh dan menyeluruh terlihat ketika mereka membedakan dan menggabungkan hal-hal yang bersifat sekuler dan yang bersifar religius. Mereka mengorganisir diri dengan rapi, sehingga seluruh aktivitas hidup mereka tertata dan terorganisir di dalam huta-horja-bius, baik secara sekuler maupun religius. Karena, Dewan Bius bekerja berdampingan dengan Parbaringin walaupun ada pemisahan fungsi di mana Parbaringin berfungsi untuk memimpin hal-hal yang bersifat religius dan Dewan Bius menangani hal-hal yang bersifat sekuler di dalam lingkungan biusnya. Pada akhirnya, mereka dipersatukan di bawah pengayoman Dewa-raja, Singamangaraja sebagai primus interpares. Singamangaraja dipahami sebagai inkarnasi Batara Guru, sehingga menempatkan Singamangaraja sebagai Dewa-raja. Singamangaraja bukan Pendeta-raja atau Raja-imam seperti yang biasa disebut-sebut oleh para misionaris Jerman dan hal ini merupakan usaha mereduksi makna dan status lembaga Singamangaraja. Dalam kaitan dengan pemahaman bahwa Singamangaraja adalah inkarnasi Batara Guru, maka dalam konteks inilah Singamangaraja dipanggil ‘Ompu i’, sehingga Singamangaraja lah satu-satunya yang dipanggil ‘Ompu i”. Itulah sebabnya, menjadi aneh kalau L.I Nommensen dipanggil ‘Ompu i’ juga selain daripada hanya untuk mendeligitimasi Raja Singamangaraja dan membangun kultus individu.

Di dalam pengorganisasian masyarakat banyak seperti itu tentulah diperlukan peraturan/norma-norma, larangan, tabu, dan nilai-nilai yang dianut sebagai suatu kebaikan/kebenaran tertinggi di dalam diri mereka. Semuanya ini sudah dikemukakan di dalam huta-horja-bius yang telah dipaparkan dan sebagai wujud daripada itu dapat dilihat dari apa yang mereka lakukan ketika menyambut dan menerima misionaris Richard Burton dan Nathaniel Ward. Sebelumnya misionaris ini sudah melihat bagaimana baiknya mereka menata alam-lingkungannya, sawah dan sistem irigasinya, tanamannya, pasarnya, dan lain-lain. Mereka secara terbuka menyambut kedua misionaris ini dengan tor-tor dan memberikan tempat buat keduanya serta memberikan kesempatan kepada misionaris ini untuk bicara. Di hadapan 2.000 orang, misionaris ini bicara dan berkhotbah menyampaikan firman Tuhan, tetapi mereka menolak apa yang disampaikan misionaris tanpa ada permasalahan.

Dua minggu lamanya kedua misionaris tinggal bersama-sama mereka di Silindung, tapi kedua misionaris tidak dapat melanjutkan perjalanan ke Bangkara oleh karena penyakit disentri yang dideritanya. Ketika hendak kembali ke Sibolga, mereka masih mengadakan acara perpisahan dan menjamu kedua misionaris dengan makan pada acara perpisahan yang meriah dihadiri 7.000 orang. Sesampainya kedua misionaris di Sibolga, sampai juga surat undangan Singamangaraja untuk datang ke Bangkara sehubungan dengan kemarau yang sudah mulai merusak tanaman penduduk, tapi misionaris tidak dapat memenuhinya akibat dari penyakit disentri yang dideritanya. Semuanya ditulis Richard Burton dan Nathaniel Ward di dalam kesaksiannya tentang masyarakat Toba di lembah Silindung. Tak kalah pentingnya, bahwa Burton dan Ward tidak dimakan!

Kesaksian Richard Burton dan Nathaniel Ward (1824) ini mengkonfirmasi bagaimana baiknya pengorganisasian masyarakat Toba dalam huta-horja-bius sebelumnya. Gambaran masyarakat Toba ini menolak isu-isu isapan jempol tentang Orang Toba yang kanibal, barbar, tak berbudaya, liar, primitif dan hidup di dalam perang. Para misionaris Jerman ini selalu memandang Orang Toba sebagai berbudaya rendah, sedang mereka berbudaya tinggi dan superior, sehingga orang Toba harus dibentuk seperti mereka. Seperti Alapiso Siahaan berubah nama menjadi Sintua Laban Siahaan, yang fotonya sudah berpenampilan seperti orang Jerman jauh berbeda dengan penampilan Guru Somalaing Pardede dengan pakaian tradisionalnya. Padahal, mereka berdua ini sama-sama panglima Raja Singamangaraja XII. Para misionaris Jerman ini turut merusak sebagian tatanan masyarakat dalam huta-horja-bius tadi yang sudah memelihara hidup mereka dalam waktu yang sangat panjang. Pola huta-horja-bius ini telah membentuk mereka hidup di dalam sistim demokrasi yang federal seperti di Amerika Serikat. Belum lagi mereka banyak mengangkut kekayaan budaya Toba berupa buku laklak, patung, dan benda-benda lainnya. Apakah semua kekayaan budaya itu dibawa atas seijin Orang Toba atau dibawa diam-diam ke negeri Jerman? Ini masih patut dipertanyakan.

Quote:

Peneliti Jerman, Franz Wilhem Junghuhn, menjelajahi negeri Toba pada tahun 1840-1841. Selama 17 bulan keberadaannya di negeri Toba, Junghuhn mengaku tidak pernah menyaksikan praktek kanibalisme di desa-desa yang dilaluinya. Dia malah heran mengapa predikat barbar dan kanibalisme itu melekat pada diri orang-orang Toba selama berabad-abad. Dalam bukunya Die Battaländer auf Sumatra (1847), Junghuhn menyimpulkan bahwa cerita-cerita barbarisme dan kanibalisme hanya rumor yang sengaja diciptakan orang Toba sendiri untuk membentengi diri dari ancaman luar yang mungkin mengganggu ketenteraman mereka. Demikianlah orang Toba membentuknya selama berabad-abad (Hutahaen, 2011:2).

Memang masyarakat Toba mengalami penderitaan yang membuat mereka trauma berat akibat kekejaman yang dialami pada waktu invasi pasukan Paderi (1825-1829), setahun setelah kedatangan Richard Burton dan Nathaniel Ward (1824). Berbagai macam tindakan pasukan Paderi telah meluluh-lantakkan Tano Toba yang menewaskan banyak orang, membungi-hanguskan kampung, menjarah harta benda, dan membawa para perempuan untuk dijual. Keadaan tadi diikuti lagi oleh berkembangnya penyakit kolera akibat banyaknya mayat membusuk yang tidak dikubur, sehingga banyak meninggal akibatnya (http://batarahutagalung.blogspot.com...uanku-rao.html dan http://www.basyral-hamidy-harahap.com/blog). Di dalam kondisi trauma berat yang mereka alami itu, W.B. Sijabat menyebutnya Xenophobia, datanglah Munson dan Lyman (1834) ke Sisangkak, Lobupining.


Samuel Munson dan Henry Lyman
Sebelum berangkat ke pedalaman negeri Toba, Samuel Munson dan Henri Lyman bertemu dengan Nathaniel M. Ward di Padang pada 29 April 1834. Munson dan Lyman adalah warga negara Amerika Serikat dan sangat kritis terhadap sikap pemerintah Belanda sebagaimana perkataan Henri Lyman sendiri: “Selama 200 tahun penduduk pribumi tanpa kecuali telah dijadikan sasaran ketamakan dan ambisi; sasaran penindasan, dan alat mendapatkan keuntungan bagi penakluk asing. Dan penakluk itu menyebut dirinya orang Kristen!” (Sijabat, 2007:399).

Lebih jauh Prof. DR. W.B. Sijabat memaparkan tentang peristiwa Munson dan Lyman ini di dalam bukunya: “AHU SI SINGAMANGARAJA: Arti Historis, Politis, Ekonomis dan Religius Si Singamangaraja XII” (Pustaka Sinar Harapan, Jakarta: 2007:395-401). Munson dan Lyman sudah tahu sebelumnya, bahwa kalau penduduk menganggap mereka adalah “orang Belanda”, maka mereka pasti celaka. Hal ini sudah mereka pelajari dari kapten kapal Pago-pago yang mereka tumpangi dari Padang ke Sibolga, sedang orang Inggris, Amerika, Batak, Aceh atau Bugis akan diterima sebagai kawan. Penduduk sangat curiga terhadap Pidari dan Belanda (Sijabat, 2007:399-400).

Munson dan Lyman berangkat ke pedalaman dengan seorang yang bernama Jan, seorang yang misterius hingga saat ini, yang justru ditunjuk oleh orang Belanda sendiri di Sibolga. Mereka bermaksud pergi ke Sakka (Sisangkak. Pen.) hendak menginap di tempat raja na opat. Sesampainya mereka di daerah Sakka, justru Jan yang terlebih dahulu berbicara dengan penduduk di Lobupining, yang termasuk lingkungan raja na opat, berkedudukan di Sakka. Lobupining sudah ditugaskan raja na opat pada waktu itu untuk mengamati orang yang datang dari luar dan mau masuk ke Silindung, agar peristiwa seperti pada zaman masuknya pasukan Paderi tidak terulang kembali. Lobupining merupakan semacam pos pengawalan pasukan raja na opat, yang tunduk kepada Singamangaraja XI (Sijabat, 207:400).

Kedua misionaris langsung dikepung penduduk dan langsung dibunuh tanpa mengetahui apa yang dibisikkan oleh Jan kepada Orang Toba itu, namun bukan “dimakan” seperti yang digembar-gemborkan oleh pihak Belanda dan misionaris Jerman. Sementara Jan sendiri pergi melarikan diri kembali ke Sibolga kepada pihak Belanda. Data-data dalam Memoirs tadi menunjukkan, bahwa Jan, penunjuk jalan pilihan itu, mungkin sekali membisikkan kepada orang Sakka, bahwa kedua orang itu adalah dari pihak Belanda; oleh karena itu mereka segera dikepung dan dibunuh (Sijabat, 2007:400; Cf. Gould dan Pedersen).

Hal ini terbukti juga dari reaksi orang Toba sendiri di tempat itu setelah mengetahui kemudian hari, bahwa sebenarnya maksud Munson dan Lyman ialah tujuan baik, maka mereka mengambil tindakan tegas terhadap yang membunuh itu. Itulah sebabnya di dalam Memoirs Munson dan Lyman dapat dibaca catatan editor buku (Sijabat, 2007:400-401) tersebut:
When it became known from the natives on the coast and from others on the road, that the brethren were good men, and bad come to do the Batta nation good, all the vellages around leagued together for vengeance against the villages where the outrage was perpetrated, and to require blood for blood. The unhappy villages was named Sacca.

Setelah diketahui dari kalangan penduduk di bagian pantai dan dari orang yang mengadakan perjalanan, bahwa saudara-saudara itu orang-orang baik, dan datang hendak berbuat baik bagi Orang Toba, maka semua desa di sekitarnya berkumpul untuk mengadakan pembalasan terhadap desa yang melakukan kejahatan itu, dan menuntut darah ganti darah. Desa celaka itu disebut Sakka.


sumber

Selasa, 02 Juni 2020

PERNYATAAN MENKO MARITIM JENDRAL TNI (PURN) LUHUT BINSAR PANJAITAN


Saya senang membaca banyak komentar di fb ini, baik yang positif maupun kadang negatif terhadap pemerintahan sekarang. Tentu semua komentar merupakan masukan yang baik untuk mendukung pemerintahan dan kemajuan NKRI yang kita cintai bersama.

Pada kesempatan ini ijinkan saya berbagi kepada Anda sekalian tentang apa yang sedang terjadi di pemerintahan. Saya berharap penjelasan ini paling tidak dapat memberikan sedikit gambaran terhadap apa yang kami lakukan.

Banyak nada-nada negatif tentang pemerintahan ini misalnya mengenai tenaga kerja asing (Tiongkok) ideologi komunisme, penguasaan sumber daya alam Indonesia, investasi Tiongkok yang berlebihan di Indonesia, serbuan orang Tiongkok yang masuk illegal di Indonesia, dsb.

Semua permasalahan tersebut kami amati dengan cermat. Saya dapat meyakinkan teman-teman sekalian karena saya telah menggunakan wewenang yang diamanahkan kepada saya, untuk memeriksa langsbbung kebenarannya di lapangan.

Sebagai Menko, saya memiliki dan menggunakan berbagai instrumen untuk melakukan pengecekan terhadap setiap analisa-analisa atau pendapat-pendapat yang beredar di masyarakat. Saya sudah mengirimkan tim khusus untuk terjun langsung ke tempat masalah. Saya juga berkomunikasi dengan beberapa Kapolda terkait, selain juga melakukan pengecekan kepada BIN. Dalam hal tertentu, bahkan saya sendiri yang melakukan pengecekan ke lapangan.

Dari semua rangkaian pemeriksaan tersebut, kami tidak menemukan bukti-bukti yang membenarkan isu-isu negatif yang saya sebutkan di bagian awal penjelasan ini. Sehingga dapat kami simpulkan bahwa sebagian besar isu-isu negatif tersebut, sangatlah tidak benar.

Saya menyadari bahwa pemerintah tentu tidak juga 100% benar dalam segala hal. Dalam memimpin dan melaksanakan proses pembangunan ini tentulah masih ada kekurangan di sana-sini. Maka dari itu, masukan dari teman-teman sekalian tetaplah kami butuhkan. Tapi tentu semua masukan dapat kita sampaikan dengan arif dan bijaksana, karena kita tumbuh dewasa dengan didikan untuk melaksanakan tugas dengan tetap menjaga kehormatan korps.

Saya sendiri bersedia menerima dan mem-fasilitasinya. Bila teman-teman sekalian menemukan hal-hal yang dirasa aneh yang terjadi diluar, maka silakan langsung menghubungi saya.

Saya juga ingin membagikan kepada teman-teman tentang Presiden Jokowi yang saya kenal sejak lebih dari 10 tahun yang lalu. Saya sendiri menyaksikan bahwa Beliau tidak berubah, masih tetap dengan hidupnya yang sederhana. 

🔴 Saya bisa memastikan, baik anak dan istri beliau tidak terlibat bisnis dan kedudukan apapun di pemerintahan. Beliau berani membuat keputusan dan berani bertanggung jawab. Beliau bekerja keras, mulai dari tataran makro sampai detail, dengan tetap melakukan pengecekan. Itulah yang mendorong saya untuk bekerja secara keras membantu Beliau, karena saya percaya akan membawa kebaikan untuk NKRI yang kita sama-sama impikan.

Saya mungkin salah satu perwira yang beruntung memiliki cukup banyak pengalaman di pemerintahan. Pengalaman ini membuat saya dapat membanding-bandingkan beberapa model kepemimpinan, dengan tidak maksud menjelekkan siapapun. Tetapi saya lihat pemerintahan saat ini memiliki peluang yang sangat besar membawa Indonesia menjadi negara yang maju.

Saya percaya dan senang bahwa teman-teman sampai saat ini masih memberikan perhatian yang begitu besar untuk kemajuan NKRI, yang sudah kita bela dan jaga dengan segenap jiwa dan nyawa, sejak kita dulu sebagai perwira mengucapkan sumpah kita untuk tetap setia terhadap NKRI.

Sekarang pada usia yang beranjak senja ini, saya mengajak kita semua untuk sekali-sekali menengok ke masa lalu, dimana kita beberapa puluh tahun lalu berada di lembah Tidar, mengucapkan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit dengan penuh semangat, kesadaran bahwa itu yang terbaik utk menjaga NKRI. Saya percaya, jiwa itu masih hidup di relung hati kita yang paling dalam. Karena *old soldiers never die, they just fade away!*

Sejak pemerintahan Presiden Joko Widodo mulai berjalan tampaknya negara ini sudah sangat maju dalam berdemokrasi, berbagai pihak kembali saling berjabat tangan seakan-akan menandakan rivalitas di negara ini sudah berakhir, jabat tangan antara pemerintahan baru dan pemerintahan lama merupakan penyerahan estafet pemberian tugas dari pemerintahan SBY selama 10 tahun kepada pemerintahan baru Presiden Joko Widodo.

Banyak masyarakat tidak menyadari bahwa sejak awal pemerintahan Presiden Joko Widodo bergulir ada pihak-pihak yang selalu mengganggu pemerintahan ini membangun negara ini, hal ini dibuktikan dengan adanya pihak-pihak yang menjaga panasnya "bara" dihati pendukung pihak yang sakit hati.

Berbagai gangguan-gangguan itu selalu diluncurkan agar menutup mata masyarakat akan prestasi-prestasi pemerintah dalam membawa negara ini untuk lebih baik.

*Upaya-upaya pengganggu ini nyata dan bergerak senyap,* para pengganggu tampaknya sudah tidak sabar lagi untuk muncul ke permukaan dan menggulingkan pemerintahan Joko Widodo, menunggu sampai waktu 5 tahun adalah waktu yang sangat lama bagi mereka.

Nasib baik sedang berpihak pada mereka, ada jalan masuk untuk mereka untuk beraksi di dunia nyata, kasus Ahok adalah jalan mulus yang akan membawa mereka untuk merealisasikan niat-niat jahat makar, Ahok bukanlah tujuan utama mereka karena target besar mereka adalah melengserkan Joko Widodo, hal ini bisa kita lihat dengan kasat mata.

Gagal Kudeta 4 November dilanjutkan 25 November.

Sakit hati karena upaya penggulingan pada 4 November lalu membuat pihak-pihak yang sudah merencanakan makar semakin sakit hati, tak tanggung-tanggung pihak ini rela merogoh kantong lebih dalam untuk suplai dana lebih besar agar Aksi pura-pura damai bisa sukses menggulingkan pemerintahan saat ini.

🔴 Lalu Siapa Pihak Yang Berniat Melengserkan Jokowi?

*🔴 ADA 3b KELOMPOK* *yang sangat ingin menggulingkan b Joko Widodo, adapun pihak-pihak tersebut adalah:*

*🔼1. Pihak-Pihak Yang Takut Terjerat Hukum*

Seperti kita ketahui, pemerintah Jokowi melakukan bersih-bersih sembari menggencarkan pembangunan di Negara ini, dalam upaya bersih-bersih tersebut banyak orang-orang yang merasa terancam akan terjerat hukum karena mereka sudah berbuat jahat di masa lalu, mereka yang dengan rakus menghisap dana negara dengan berbagai trik untuk menumpuk kekayaan.

Manuver Jokowi membuat pihak-pihak berdosa tersebut ketar-ketir, mereka membangun koalisi jahat dan rela memberikan suplai dana besar-besaran untuk berdemo  menggulingkan pemerintahan Jokowi, hanya dengan menggulingkan Jokowi-lah yang dapat menyelamatkan mereka dari jerat-jerat hukum rapat yang dibangun Joko Widodo.

Menggulingkan Jokowi adalah pertaruhan besar oleh kelompok ini, hanya ada dua pilihan Jokowi tumbang atau mereka yang tumbang.

*🔼2. Pihak-Pihak Yang "Kekeringan" tidak bisa Korupsi*

Korupsi adalah budaya elit yang mendapatkan kedudukan bukan rahasia lagi, bukti korupsi membudaya di berbagai lini di negara ini dibuktikan dengan banyaknya para koruptor yang ditangkap oleh KPK mulai dari kelas teri sampai kelas kakap.

Para koruptor yang rela beinvestasi besar-besaran untuk mendapatkan kursi jabatan di negeri ini, investasi besar-besaran mereka terancam gagal balik modal karena pemerintahan Joko Widodo sangat ketat dalam penggunaan dan pegawasan anggaran.

Paceklik berjamaah dialami oleh kelompok ini karena aksi-aksi Jokowi menutup yang bocor, bocor dan bocor sangat efektif untuk membuat para tikus kelaparan.

Tak mau mati kelaparan, para tikus-tikus busuk ini mulai menggigit perlahan-lahan untuk merobohkan Pemerintah saat ini.

*🔼3. Orang-Orang Yang Ingin Membangun NKRI Berdasarkan Agama*

Radikalisme dan separatisme dengan alasan agama bukanlah hal baru di negeri ini, bahkan pentolan kelompok ini berani lantang tidak mengakui Pancasila yag merupakan dasar dari Negara ini.

Kelompok radikal ini sudah menunjukkan upaya-upaya mereka untuk menguasai negara ini dan membuat negara ini sesuai dengan paham mereka anut, kelompok ingin sukses menguasai negara ini seperti apa yang dilakukan oleh kelompok sejenis kelompok ini yang sukses menggulingkan pemerintahan seperti Mesir dan Turki.

Lalu Modus Apa Yang Mereka Pakai?

Kelompok-kelompok diatas memiliki satu tujuan utama dan mendesak yaitu menggulingkan presiden Joko Widodo, kesamaan misi ini membuat *ketiga kelompok tersebut bahu membahu agar target mereka tercapai*.

Berikut modus yang dipakai adalah sebagai berikut:

Membangun Konflik SARA ala Kerusuhan 98 dengan Sasaran Etnis Cina

Isu ini dianggap paling berpeluang membuat negeri ini rusuh, menciptakan kerusuhan besar-besaran adalah upaya memecah konsentrasi Polri dan TNI dalam menjaga keamanan negara ini.

Kelompok-kelompok ini berupaya mengadu domba antara masyarakat pribumi dan masyarakat keturunan dari etnis tertentu.

Berikut bukti bahwa ada kelompok yang membangun opini negatif dan menancapkan kebencian terhadap Etnis Cina, di dunia maya banyak website yang mungkin jumlahnya menyampai angka ratusan untuk menghembus propaganda adu domba menyasar Etnis Cina.

Upaya yang sangat masif ini bergulir menjadi bola salju, kebencian yang sudah tertanam tadi akan diledakkan dengan aksi penyerangan suatu kelompok kepada etnis Cina, kelompok pemicu inilah yang akan menyulut kerusuhan dalam skala besar di berbagai daerah di Indonesia, upaya tersebut sangat jelas saat kerusuhan di Penjaringan 4 November lalu, beruntung polisi dan TNI di bantu masyarakat yang pro keBhinekaan sukses memadamkan pemicu ini.

Gambar serta video di bawah ini adalah bukti kecil yang membuktikan ada gerakan dan upaya yang sangat masif dan dikerjakan dengan sangat terstruktur, berita-berita hoax yang membawa etnis-etnis Cina adalah faka nyata yang terjadi, upaya-upaya busuk tersebut terkonfirmasi dengan adanya propaganda anti Cina yang diluncurkan dengan coretan-coretan di berbagai tempat menjelang Aksi demo 4 November lalu. 

_Berupaya Memancing Kudeta Militer_

Setelah operasi 4 November gagal total, kelompok-kelompok ini berusaha untuk mengadu domba antara TNI dengan Presiden, berbagai propaganda disebar mulai dari pujian setinggi langit kepada Panglima TNI Gatot Nurmantyo cocok menggantikan Joko Widodo sebagai presiden hingga menghembusan isu Panglima TNI yang akan di copot oleh Presiden karena membela umat Islam.

Pergerakan menyebarkan propaganda ini disebarkan di berbagai sosial media, bahkan banyak anggota TNI aktif sempat termakan isu penggantian Panglima ini, kekecewaan terhadap presiden terbentuk di internal TNI, kekecewaan terhadap presiden sempat diungkapkan oleh beberapa anggota TNI pada akun sosial media Facebook.

*Aksi-aksi adu domba ini sudah tercium oleh Panglima TNI,* sang Panglima sadar banyak bawahannya sudah termakan propaganda-propaganda ini, pada 8 November Panglima TNI memerintahkan melalui surat edaran kepada seluruh jajaran TNI yang dipimpinnya untuk menyaksikan acara Indonesia Lawyer Club.

Melalui acara tersebut panglima dengan cerdas mematahkan upaya adu domba berbagai pihak yang mencoba memecah belah TNI, pihak-pihak yang mengadu domba TNI dengan panglima tertinggi dalam hal ini Presiden Jokowi dan upaya-upaya mengadu domba antara TNI dengan Polri.

Dengan lantang Panglima TNI Jenderal Gatot menutup acara tersebut dengan pernyataan tegas :

_"LEBIH BAIK SAYA MENJADI TUMBAL DEMI KEBHINEKAAN DARIPADA SAYA BERNIAT MENJADI PRESIDEN"_

Pernyataan tegas inilah yang memusnahkan upaya-upaya adu domba membenturkan TNI dengan berbagai pihak, Pernyataan inilah yang membuat TNI kembali merapatkan barisan untuk mnghadapi pihak-pihak yang berniat memecah Kebhinekaan untuk kepentingan kelompok mereka.

Demikian ulasan ini kami buat, alasan utama kami membuat ulasan ini adalah untuk membuka mata kita bahwa *negara ini sedang di pecah belah oleh orang-orang dan kelompok-kelompok yang ingin mencapai keinginan mereka*.

Ayo kita bersama kita teriakkan dengan lantang! :

*Kami Masyarakat Indonesia yang di ikat dengan Bhineka Tunggal Ika TIDAK TAKUT ✊ pada kalian yang ingin merusak KeBhinekaan kami, semakin kalian berupaya merusak Kebhinekaan kami maka semakin kuat juga kami bersatu dalam KeBhinekaan ini*

Silahkan Sharing tulisan ini pada akun Sosial Media Anda, tunjukkan pada si pemecah belah bangsa ini bahwa KITA ADA ☝ dan tidak akan kalah dengan propaganda.

https://postkeadilan.com/terkait-isu-propaganda-adu-domba-di-medsos-menko-luhut-beri-penjelasan/